BRANDING UNTUK YANG KECIL

BRANDING UNTUK YANG KECIL


Awan Santosa, S.E, M.Sc



Yah, judul artikelnya agak aneh memang. Mungkin juga seaneh saya yang biasa bicara kesana-kemari soal “ekonomi kerakyatan”, kok tiba-tiba bicara soal branding. Tapi ya syukur karena yang dibicarakan soal UMKM. Tapi apa maksudnya bukan branding biasa?

Sudah lupa Soekarno, Hatta, atau Ahmad Dahlan? Atau, kira-kira bisakah melupakan mereka? Susah bukan, atau bahkan ga bisa. Kenapa? Apakah karena namanya keren atau penampilan-nya okey? Tidak bukan? Yah, nama mereka melekat kuat (branded) karena yang mereka lakukan luar biasa.

Memang branding itu esensinya soal keluarbiasaan, kemanfaatan, keahlian, perjuangan dan keteguhan. Sederhana bukan? Iyah, yang tidak mudah memang melakukan. Perlu ada hal hebat di dapan dan belakang. Istilah Rhenald Khasali perlu ada “faktor pemicu” yang menggerakkan.

Ini berarti branding tidak bisa instan. Ia bukan sekedar soal nama dan logo keren, menarik diingat, dan terkenal. Bahkan nama-nama besar tadi sama sekali tidak menyoal kebesaran diri, tapi hal-hal besar yang harus mereka lakukan. Ini lebih soal hati dan jiwa besar. Ini seperti “human spirit” marketing 3.0-nya Hermawan Kertajaya.

Apa yang membuat orang-orang itu mau melakukan hal-hal besar? Mengejar kesuksesan, kekayaan, kekuasaan kah? Kiranya bukan. Mereka lebih tergerak oleh sebuah cita-cita besar, yang tidak melulu soal mereka sendiri. Iyah, hal-hal semacam, kemerdekaan, kedaulatan, kebebasan, dan kemakmuran, tentu saja bagi semua orang.

Mereka adalah orang-orang yang melihat dan terlibat persoalan. Tetap bertahan di tengah segala kesukaran. Mungkin mereka tidak membaca buku soal kiat sukses, kewirausahaan, dan kepemimpinan. Mereka belajar dengan melakukan, berjuang menghadapi persoalan yang dihadapi orang kebanyakan. Dan dengan itulah mereka dikenal.

Einstein sendiri, ilmuwan yang sangat tersohor, pernah merumuskan; “Its not cause I’m so smart, but it’s cause I stay with the problem longer”. Sekali lagi, bertahan lama untuk turut memecahkan berbagai persoalan, yang bukan hanya persoalan pribadi dan usaha tentunya. Dan itulah rumus branding.

Dibalik brand selalu ada cerita nya (his-story). Cerita tentang orang biasa yang melakukan hal-hal tidak biasa, beda, utama, bahkan pertama dan satu-satunya. Sebagian menjadi sejarah, yang warisannya akan senantiasa dicatat oleh malaikat selama diikuti dan dilanjutkan oleh generasi sesudahnya (QS Yasin: 12).

Saya bilang tentang orang biasa, kiranya termasuk UMKM di dalamnya. Mereka ini tidak kalah kuat dan hebat ceritanya. Bahkan dalam banyak hal terbukti menjadi penyelamat ekonomi bangsa. Tapi mengapa mengalami persoalan dalam branding-nya? Berpuluh tahun terus bergelut dengan masalah permodalan, teknologi, dan akses pasarnya?

Kembali soal esensi branding di muka, maka branding usaha besar dan kecil sangat ditentukan oleh “kemampuan” dan “kebermanfaatan” pelaku dan usahanya. Branding diperoleh melalui 10.000 jam terbang-nya Galdwell yang makin menambah kreativitas UMKM. Kalaupun bisa diraih secara instan melalui rekayasa, maka ia tidak akan tahan lama.

Branding adalah soal nilai lebih. Ia melekat pada usaha yang tidak sekedar menjual barang atau jasa wadag, melainkan kepedulian dan kebermanfaatan. Terus bertahan, belajar, dan berjuang itulah yang mengantarkan sang pelaku pada keahlian dan keunggulan pencirinya. Branding adalah buahnya.

Setiap usaha hebat lahir dengan “cerita getir” dibelakangnya. Pun, kembali pada cerita di awal, bangsa Indonesia yang ingin terbebas dari penjajahan dan keterbelakangan, maka “lahirlah” Soekarno, Hatta, dan Ahmad Dahlan. Dan sekali lagi, mereka tidak peduli dengan branding.

Pada akhirnya, branding UMKM adalah soal usaha menebar manfaat, terutama bagi mereka yang membutuhkannya. Kalaulah ada yang paling peduli orang-orang kecil (miskin), maka mestinya adalah usaha kecil (UMKM). Oleh karenanya, saling menolong dan berkooperasi adalah jalan bagi branding UMKM.

Berjuang untuk orang-orang kecil adalah menolong agama Allah. Dan barang siapa menolong agama Allah, maka Dia akan menolong dan mengangkat kedudukannya (QS Muhammad: 7). Kedudukan itulah branding, dan ini bukan branding biasa. Silakan dicoba.


“ENTREPRENEURSHIP OF THE VILLAGER”
Inovasi Bisnis Menuju Keberdikarian Bangsa

diunduh dari: www.ciputraentrepreneurship.com


















Sebagai pelajaran berharga bagi “Kelas Kewirausahaan”
Dosen pengampu: Awan Santosa, M.EKI.

                  
                 

Magno, Radio Kayu asal Temanggung
Selasa, 05 Oktober 2010 09:07
Setiap pagi di pinggir Jalan Desa di Dusun Krajan 1, Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, suara pemotong dan penghalus kayu menderu-deru membelah keheningan. Di sebuah bangunan berlantai dua seluas 300 meter persegi tiga puluh pekerja sibuk dengan alat masing-masing.

Di bengkel kerja itulah, kayu pinus, mahoni, sengon, dan sonokeling disulap selama enam belas jam menjadi radio. Sebatang sengon yang biasa dijadikan kayu dihargai Rp 10 ribu, bernilai ratusan dollar Amerika setelah diolah dibengkel kerja milik Singgih Susilo Kartono itu. Sebuah radio kayu dijual dengan harga US$ 250-300 atau Rp 2,3-2,8 juta di Amerika dan Eropa.

Singgih memilih mengeluti usaha kayu karena merasa sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dia dibesarkan di desa yang dirimbuni pokok-pokok yang menjulang. Dari kayu juga, sebagian warga Kandangan menggantungkan hidup mereka menjual gelondongan kayu yang sudah dipotong-potong. Itulah yang membuat lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu prihatin.

Menjodohkan kayu dengan radio juga bukan tanpa alasan. Bagi ayah dua anak ini radio merupakan alat yang bisa menjadi teman manusia. Perjodohan inilah yang syarat nilai dan makna inilah yang melambungkan Singgih dan radionya ke panggung dunia. Desain yang menjadi tugas akhir kuliahnya ini memenangi Internasioal Design Resauce Award 1997 di Seattle, Amerika Serikat. Ketika itu radio yang ia buat masih prototype. Komponen radio berasal dari radio yang sudah jadi. Selama tujuh tahun ia bekerja di sebuah perusahaan furnitur. Pada tahun 2004 setelah perusahaannya gulung tikar, Singgih pulang kampung dan memulai usaha sendiri.

Singgih menyulap ruang tamu rumah orang tuanya menjadi bengkel kerja, bersama istri dan empat karyawannya ia membuat alat-alat kantor, seperti tempat pulpen, stapler, dan tempat selotip dari kayu, juga kaca pembesar gagangnya dari kayu. Ia pun membuat radio kayu. Magno, demikian ia menyebut radio itu berasal dari kata magnifying (kaca pembesar) produk pertama yang ia buat. (*/Tempo)













Aksesoris dari Sisik Ikan
Rabu, 22 September 2010 14:06
Usia bukan hambatan bagi seseorang untuk berkreasi. Bahkan pada orang-orang tertentu semakin bertambahnya usia menjadikannya semakin kreatif. Paling tidak semangat ini ditunjukkan oleh Wayan Sutiarti Mastoer yang baru mulai menekuni hobinya ketika telah memasuki masa pensiun. Dia pun berinovasi dengan memanfaatkan sisik ikan jadi aksesoris.

"Bidang yang saya tekuni sekarang memang jauh dari pekerjaan saya dulu. Dulu saya terlalu sibuk di kantor, sibuk urus keluarga, sekarang setelah pensiun saya ingin mencari kesenangan saya, hobi saya," ungkap Wayan.

Dan di luar dugaan Wayan, ternyata hobi lama yang baru ditekuninya kembali pada tahun 1997 berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Walhasil, masa pensiun yang dijalaninya justru menjadi awal baginya menekuni bisnis kerajinan bunga kering.

"Padahal tadinya hanya ingin mengisi masa pensiun, mengisi waktu luang dengan sesuatu yang saya sukai," ujarnya.

Di tangannya, sisik ikan yang berbau amis itu, diubah menjadi aksesoris-aksesoris yang indah, mulai dari kalung, bros, giwang, anting, dan sebagainya. "Sisik ikan ini saya dapat dari pasar Genteng, Surabaya. Satu karung sisik ikan hasil pengumpulan beberapa hari, dibawa ke rumah saya. Baunya benar-benar bau amis. Karena itu setiap kali karungan sisik datang ke rumah, maka hari itu juga harus dikerjakan, paling tidak dibersihkan hingga tidak berbau lagi." katanya.

"Untung saya bukan orang yang penjijik, sehingga tidak masalah bagi saya menggarap sisik-sisik itu. Untuk membersihkan segala kotoran, saya cuci berkali-kali, setelah itu direndam semalaman dengan kaporit. Setelah bersih dan tidak berbau lagi, dikeringkan, namun jangan terlalu panas nanti melinting. Setelah itu, siap dibentuk dan diberi pewarnaan, pakai pewarna tekstil biasa," jelasnya panjang lebar.

Ternyata, tambahnya, aksesoris dari sisik ikan ini, banyak yang suka. Bukan hanya para remaja saja, tapi para ibu pun menyukainya. "Lihat ini, hampir semua produk dari sisik ikan ludes terjual di hari pertama pameran," kata Wayan.


Kulit Jagung Sebagai Pengganti Plastik
Senin, 06 September 2010 11:11
Kulit jagung juga bisa menjadi bahan baku pengganti plastik. Mohamad Fasiol menggunakannya sebagai bahan baku dalam pembuatan gelas dan botol. Selain kualitasnya tak kalah dengan bahan plastik, gelas atau botol bekas itu bisa diserap tanah dan menjadi pupuk.

Permintaan gelas plastik terus meningkat dari tahun ke tahun. Maklum, banyak produk barang-barang konsumsi yang menggunakan plastik sebagai bungkusnya.

Tengok saja, setiap gerai dari jenis booth hingga restoran yang menyediakan minuman soda, teh, kopi, maupun sirup, memakai gelas plastik sebagai wadah.

Namun, tanpa disadari, proses pembuatan gelas dari plastik ini bisa menghasilkan limbah berbahaya. Begitu juga sampah yang dihasilkan dari gelas plastik lantaran tak bisa didaur ulang tanah.

Asal tahu saja, 10.000 gelas plastik berukuran 240 mililiter bisa membuat tumpukan sampah 2 m³-3 m³. Meski daur ulang plastik banyak dilakukan, tak semua sampah plastik itu bisa diolah kembali.

Mohamad Faisol, pemilik Mitradata Plastic Packaging, produsen plastik di Surabaya, Jawa Timur, menyadari betul dampak negatif tersebut. Karena itulah, dia mencoba bahan baku alternatif pengganti plastik, yakni kulit jagung dan biji ketela.

Menurutnya, kedua bahan tersebut sangat cocok karena memiliki serat yang cukup kuat. "Sebenarnya banyak sekali bahan yang bisa dipakai, namun yang ekonomis dan tersedia dalam jumlah banyak adalah kulit jagung," katanya.

Faisol mulai membuat gelas dari kulit jagung sejak tiga tahun silam. Namun, lanjutnya, peminat gelas dari kulit jagung masih minim. Maklum, harga gelas kulit jagung lebih mahal ketimbang gelas plastik.

Satu gelas dari kulit jagung berukuran 10 gram berharga Rp 600, sedangkan bandrol gelas plastik hanya Rp 250. "Harga gelas kulit jagung belum bisa bersaing," katanya.

Alhasil, meski Faisol sudah mencoba memasarkan ke berbagai pihak, respon konsumen masih minim. "Saya baru memasarkan 5.000 gelas," ujarnya. Artinya, dia hanya mendapatkan pemasukan sekitar Rp 3 juta dari gelas kulit jagung itu.

Lain halnya dengan gelas berbahan plastik. Sebagai produsen gelas plastik, dia bisa menjual sekitar satu juta gelas setiap bulan. Omzet dari penjualan gelas plastik tersebut mencapai Rp 250 juta setiap bulan. "Pembelinya 80% produsen minuman teh," kata Faisol.

Untuk mempromosikan gelas kulit jagungnya, Fasiol menyebarkan contoh ke sebagian besar produsen consumer goods. Mulai dari yang skala kecil hingga berskala multinasional. Bahkan, produk sampel itu tak hanya berupa gelas, tapi juga berbentuk botol. "Saya juga menawarkan dalam bentuk setengah jadi ke produsen boneka. Biar mereka mengolah sendiri," tuturnya.

Kualitas gelas maupun botol dari kulit jagung tidak kalah bagus dengan gelas yang terbuat dari plastik. Selain antibocor, penampilan gelas dari kulit jagung ini juga menawan. Karena, sisi luar gelas tetap bisa didesain atau dibubuhi merek-merek tertentu dengan cara di-print alias dicetak.

Hanya, proses pembuatan gelasnya membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tiga pekan. Pasalnya, kulit jagung harus melalui beberapa tahapan proses. Mulai dari dihancurkan hingga menjadi biji kulit jagung yang sama seperti biji plastik. "Kalau sudah menjadi biji seperti biji plastik proses pembuatannya sama seperti gelas plastik," katanya.

Tak hanya proses pembuatan yang mirip, mesin yang digunakan pun sama seperti mesin pembuat gelas plastik. Yang paling penting, ketika menjadi sampah, gelas dari kulit jagung bisa diserap tanah dan menjadi pupuk.

Menurut Faisol, di negara lain, terutama di negara maju, sebagian besar produsen consumer goods sudah beralih menggunakan kulit jagung sebagai pengganti plastik. Bahkan, lanjut dia, Taiwan sudah mulai menggunakan kulit jagung untuk membuat gelas plastik. "Gelas kulit jagung Taiwan sudah diekspor ke Amerika," katanya.


Kulit Lembut Berkat Sabun Susu Kambing
Jumat, 03 September 2010 13:18
Sabun dari susu kambing diyakini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sabun lain. Selain lebih sehat, sabun dari susu kambing juga menjadikan kulit tampak lebih lembut dan kencang. Tak heran, permintaan sabun ini terus meningkat. Peluang bagi pemain baru pun terbuka lebar.

Perempuan ataupun lelaki yang semakin peduli terhadap perawatan kulit ikut mendongkrak penjualan berbagai produk kecantikan. Terutama, produk yang menggunakan bahan-bahan alami atau produk-produk yang lebih minim bahan kimia. Salah satunya, sabun yang terbuat dari susu kambing. Sabun berbahan baku alami ini dipercaya bisa membuat kulit lebih sehat, kencang, lembut, dan tidak kering.

Rumah Susu Kambing milik Syauqi Naji yang berada di Cibinong, Jawa Barat, adalah salah satu pelaku usahanya. Saban bulan, Syauqi menerima permintaan sabun susu kambing hingga 1.440 batang. Dengan harga jual sabun susu kambing Rp 10.000 per batang untuk ukuran 90 gram, Syauqi meraup omzet sekitar Rp 15 juta per bulan.

Syauqi bilang, permintaan itu cukup tinggi. Pasalnya, Rumah Susu Kambing merupakan pemain baru di usaha ini. "Sebelumnya saya hanya menjual susu kambingnya," katanya.

Menurutnya, permintaan yang tinggi ini lantaran banyak perempuan yang mulai beralih menggunakan sabun berbahan baku alami.

Hal senada diungkapkan Anya Madiapoera, yang pernah memiliki usaha sabun susu kambing. Menurutnya, sabun susu kambing baik untuk kesehatan kulit, terutama untuk kulit yang sensitif. Selain itu, proses produksinya juga lebih ramah lingkungan dibandingkan sabun umumnya.

Namun, sayangnya saat ini Anya sudah tidak lagi memproduksi sabun susu kambing. "Sejak Juni tahun lalu saya sudah menghentikan produksi," katanya.

Penyebabnya bukan karena produknya tidak laku. Melainkan, karena biaya perizinan di industri kosmetik terhitung sangat tinggi. "Untuk mengurus perizinan itu saya butuh biayanya di atas satu miliar rupiah. Saya disamakan dengan industri besar," keluh Anya.

Karena tidak memiliki uang tunai sebesar itu, Anya pun menghentikan produksi sabun susu kambing miliknya di Bandung, Jawa Barat. Padahal, waktu itu permintaan sabun dengan merek Soaphisticated itu terbilang cukup tinggi.

Pada April 2009 atau bulan terakhir berproduksi, Anya bisa menghasilkan 2.500 batang sabun. Harga jualnya Rp 25.000 per batang. Artinya, saat itu Anya masih bisa mengantongi pendapatan Rp 62,5 juta sebulan.

Menurut Anya, sebenarnya bisa saja ia terus memproduksi sabun dari susu si embek tersebut. Namun, dia tidak mau disebut sebagai produsen sabun yang tidak mempunyai izin. "Saya tidak mau dibilang pemain gelap," ujar dia.

Meski begitu, toh, masih banyak produsen sabun susu lain yang terus bermunculan. Misalnya, Devi Eka Agustina, pemilik Handicraft Soap Devi baru empat bulan memproduksi sabun susu kambing. Dia menjual sekitar 120 batang sabun dengan harga jual Rp 12.500 per batang berukuran 100 gram. "Tren penjualannya meningkat terus," katanya.

Zat Pewarna dari Daun Indigofera
Kamis, 26 Agustus 2010 13:34
Selama ini, tanaman Indigofera yang biasa tumbuh di tanah berpasir dan lahan kritis tidak dimanfaatkan. Padahal, jika bisa mengolahnya, tanaman ini bisa bernilai jual tinggi. Misalnya, tanaman yang memiliki daun berwarna hijau tua dan berbentuk oval ini bisa diolah menjadi pewarna kain batik dan kain tekstil lainnya.

Shinta Pertiwi, mahasiswi Strata 2 (S-2) Jurusan Teknik Kimia Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bersama dua rekannya berhasil mengolah daun Indigofera menjadi zat pewarna kain tekstil khusus berwarna biru. "Kami sudah memperkenalkannya sejak tahun lalu. Dan tahun ini akan mulai kami komersialkan," kata Shinta.

Menurut dia, kendati saat ini belum dijual secara komersial, peminat zat pewarna olahannya cukup banyak. Tidak hanya pembeli lokal, peminatnya juga ada yang dari luar negeri. Di antaranya Jepang dan Korea. "Saat ini pembeli dari Jepang minta antara 200 kilogram (kg) sampai 300 kg," ujar perempuan 26 tahun ini.

Sayangnya, lanjut Shinta, mereka baru bisa memproduksi maksimal 100 kg per bulan. Penyebabnya, keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, sampai saat ini Shinta belum mampu memenuhi semua permintaan yang datang. Termasuk, permintaan pembeli dari Jepang dan Korea.

Shinta dan teman-temannya menjual pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye tersebut dengan harga Rp 700.000 per kg. Dus, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebulan tiga sekawan itu meraup omzet Rp 70 juta.

Melihat besarnya potensi pendapatan dan pesanan, di akhir tahun ini, Shinta berencana meningkatkan produksinya minimal dua kali lipat dari kapasitas saat ini. "Kami sudah dapat pabrik yang mau memproduksinya. Minimal nanti produksinya bisa bertambah menjadi 200 kg," katanya. Pabrik itu sendiri memiliki kapasitas produksi hingga 6,5 ton per tahun.

Mengenai pasokan bahan baku tanaman Indigofera, Shinta sudah memiliki pemasok langganan, yang memiliki area penanaman seluas 9 hektare. Terdiri atas tiga hektare di Bantul, Yogyakarta, dan enam hektare di Brebes. "Bisnis zat pewarna alami ini juga bisa mendatangkan peluang usaha baru bagi petani yang mau menanam pohon Indigofera di lahan tidak terpakai," imbuhnya.

Untuk membuat 1 kg serbuk zat pewarna Gama Indigo dibutuhkan sekitar 250 kg daun Indogofera. Otomatis, jika ingin memproduksi secara besar-besaran, dibutuhkan banyak pasokan daun Indigofera.

Kendati butuh pasokan bahan baku yang banyak, hasil yang didapat dari zat pewarna ini memuaskan. Sebanyak 25 gram serbuk Gama Indigo bisa digunakan mewarnai dua lembar kain batik berukuran standar 3x1,5 meter.

Shinta tidak menampik, banyaknya pasokan bahan baku yang dibutuhkan turut mempengaruhi mahalnya harga jual zat pewarna buatannya. Ini jika dibandingkan dengan zat pewarna kimia yang banyak beredar di pasaran seharga Rp 60.000 per kg. Tapi, dia menyakini bahwa dari sisi kualitas, warna alami Gama Indigo tergolong lebih lembut dan tahan lama.

Yang tak kalah penting, zat pewarna ini lebih aman digunakan dan tidak menghasilkan limbah ketika melakukan proses pewarnaan pada kain. Karena terbuat dari bahan alami.

Berbeda dengan zat pewarna kimia yang dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit kulit, seperti kanker kulit. "Karena menggunakan zat pewarna kimia, produk batik kami juga sulit diekspor ke Eropa," kata Shinta.

Asal tahu saja, ada sejumlah tahapan yang dilakukan Shinta dan rekan-rekannya dalam memproduksi zat pewarna Gama Indigo.

Pertama, mereka memilih daun Indigofera berumur 5-6 bulan atau yang sudah dianggap tua. Salah satu ciri yang menandakan daun Indigofera sudah tua biasanya berwarna hijau kebiruan dengan biji berwarna cokelat kehitaman. Setelah itu, daun direndam di dalam bak selama beberapa waktu hingga daun menjadi layu.

Selanjutnya, ada delapan tahapan proses yang memakan waktu sekitar 18 jam. Di antaranya, proses hidrolisis, yaitu penguraian zat warna glukosa indikan sampai proses oksidasi selama sekitar 12 jam di dalam bak. Hingga akhirnya, semua proses tersebut menghasilkan endapan pewarna biru dari Indigofera.

Agar bisa menjadi serbuk, sebelumnya endapan itu harus melalui proses pemanasan hingga kering. Baru setelah itu melakukan proses fermentasi hingga menjadi serbuk zat pewarna.

Shinta mengaku baru belakangan ini memproduksi zat pewarna indigo dalam bentuk serbuk. Sebelumnya, dia memproduksi dalam bentuk pasta. Namun, karena bentuk pasta tidak bisa bertahan lama akibat munculnya jamur, dia memilih bentuk serbuk.

Shinta berharap, produknya bisa lebih diterima pasar melalui inovasi tersebut. "Saya berharap, dengan hadirnya zat pewarna alami, produk tekstil kita lebih diterima di mancanegara. Sehingga, potensi ekspor tekstil kembali terangkat," kata Shinta, yang kini menjabat Manajer Produksi dan Pemasaran Gama Indigo. Berdasarkan risetnya, saat ini kebutuhan zat pewarna di dalam negeri sekitar 10.000 ton per tahun. (*/Kontan)


Kertas dari Batang Pisang
Jumat, 06 Agustus 2010 09:22
Pohon pisang hanya dapat berbuah sekali, setelah itu pohon tersebut harus dibuang. Selain buah, masyarakat juga memanfaatkan daunnya, sedangkan batangnya dibuang. Siapa sangka, batang pohon pisang tersebut dapat diolah menjadi barang lain yang kreatif dan mempunyai nilai guna yang cukup tinggi. 

Saat ini batang pohon pisang dapat diolah menjadi kertas atau sering juga disebut art paper. Yaman, perajin art paper dari Bogor Kreatif, menjelaskan, proses pembuatan art paper tidak rumit. "Tinggal cari batang pohon pisang, lalu dihaluskan," kata Yaman.

Untuk menghaluskan batang pohon pisang tersebut dapat menggunakan blender ataupun alat untuk menggiling daging. "Untuk seberapa lama proses penghancuran batang, tergantung ingin seberapa halus serat yang kita hasilkan," ujar Yaman. Jika ingin mendapat serat yang sangat halus, maka proses penghancurannya akan lebih lama dibanding jika ingin mendapat serat yang kasar.  

Lalu proses selanjutnya adalah penjemuran. "Setelah dihaluskan, letakan di atas cetakan sablon, lalu dijemur. Kalau panasnya bagus, sehari juga cukup," terang Yaman. 

Setelah kertas kering, dapat langsung digunakan atau dapat juga ditambahkan warna. Untuk pewarnaannya, Yaman menggunakan bahan dari alam seperti gambir, kunyit, atau daun pandan. Untuk pewarna buatan, ia menggunakan sepuhan atau perwarna pakaian. 

Proses pewarnaannya pun ada dua macam, yang pertama dengan proses pencelupan dan yang kedua adalah dengan proses pentotolan menggunkan spons. "Kalau mau satu warna tinggal dicelup saja. Tapi kalau warna gabungan, ambil warna pertama dengan spons, lalu totolkan di atas kertas. Tunggu sebentar lalu totolkan warna kedua,' jelas Yaman. 

Jika merasa hasilnya kurang bercorak, proses pembatikan pun dapat dilakukan pada art paper tersebut. Caranya seperti membatik biasa, yaitu menggunakan canting dan malam. "Tapi jangan terlalu panas karena malamnya mempuyai sifat minyak. Nanti motif batik yang digambar bisa melebar ke mana-mana," kata Yaman mengingatkan. 

Berbeda dengan proses pembatikan yang harus direndam untuk menghilangkan malam pada kain, pada art-paper ini malam akan rontok dengan sendirinya. Selain itu, ternyat masih ada cara lain untuk membuat art paper tampak lebih menarik, yaitu dengan memberikan aksen daun di dalamnya. Yaman menjelaskan, cara pembuatannya adalah seperti dua kali pembuatan art paper. Pertama seperti membuat art paper, setelah kering, beri daun di atasnya lalu siram lagi dengan bubur batang pisang, terakhir keringkan kembali. Daun yang dipakai bisa daun apa saja, tidak ada daun khusus. 

Art paper ini dapat digunakan untuk boks, memo, dan kartu undangan. Selain itu bisa juga dipakai pada kap lampu agar sinar lampu lebih redup. (*/Kompas)



Gurihnya Dendeng Jantung Pisang            
Kamis, 22 Juli 2010 16:13
Dendeng dan abon, umumnya terbuat dari daging. Tapi di Cimahi, jantung pisang pun bisa disulap menjadi dendeng dan abon yang lezat dan menggiurkan.

Adalah Bambang Eko Putro yang pertama kali memperkenalkan itu. Di Cimahi denden dan abon jantung pisangnya sudah sangat terkenal. Warga menyebutnya sebagai denjapi alias dendeng jantung pisang dan bonjapi atau abon jantung pisang.

Dari sisi bentuk, nyaris tak ada beda antara denjapi dan bonjapi ini dengan dendeng dan abon biasa yang terbuat dari daging. Dari sisi rasa juga tak jauh beda, terlebih untuk bonjapi yang di Cimahi sudah dipasarkan sejak lima tahunan lalu.

Bambang mengaku, ketertarikannya mengolah jantung pisang berawal ketika dirinya melihat jantung pisang tercecer tanpa manfaat di sisi jalan yang dilewati. Bambang langsung ingat kepada sang nenek di Kediri yang sering menyajikan sayur jantung pisang sebagai menu makanan.

"Saya mulai coba-coba buat menu makanan dari jantung pisang tahun 2003. Kalau diamati tekstur serat jantung pisang mirip serat daging. Lalu saya coba membuat bumbu dendeng sehingga jadi menu denjapi," jelas sarjana ekonomi yang pernah bekerja di perusahaan perangkat water heater ini ketika ditemui di rumahnya di Perumahan Puri Cipageran Indah, Cimahi, beberapa waktu lalu.

Melalui industri skala rumah tangga ini lah rata-rata dalam sehari, Bambang mampu memproduksi 400 kemasan denjapi dan 100 kemasan bonjapi. Produk tersebut dipasarkan melalui penjual dan 30-an penyalur di wilayah Jawa Barat. Pengiriman produk ini ke Malaysia dan Singapura dilakukan hanya bila ada permintaan.

"Saya belum bisa melayani jumlah pemesanan banyak, satu kontainer misalnya. Ketersediaan bahan baku masih jadi kendala. Agak sulit mendatangkan jantung pisang dari luar Jawa Barat karena daya tahannya cuma dua hari," terang Bambang.
Sebagian bahan baku jantung pisang maupun pisang diperoleh dari kebun pisang milik Bambang di wilayah Cipageran, Cimahi, seluas tiga hektare dan kebun pisang seluas 10 hektare di Darangdan, Purwakarta.

"Saya masih terus mengumpulkan berbagai jenis pisang dari seluruh Indonesia untuk ditanam di kebun. Makanya kalau dari daerah, saya selalu bawa bonggol pisang sebagai oleh-oleh. Ada yang dari Aceh, Kalimantan, dan daerah lain. Ke depan saya ingin membuat kebun saya menjadi area wisata kebun. Di tempat ini masyarakat bisa mendapat wawasan tentang aneka jenis pisang sekaligus melakukan penelitian," ungkap Bambang. (Tribun Jabar)



Berkhasiatnya Jahe Merah Instan            
Senin, 05 Juli 2010 14:30
Masalah Kesehatan dan farmasi tidak hanya menjadi monopoli Rumah Sakit saja. Apalagi biaya berobat di Rumah Sakit kini kian hari semakin melangit. Tidak heran jika banyak orang mulai mencari pelbagai alternatif lain demi kesehatan dan dapat sembuh dari sakit.

Melihat peluang tersebut, Syaeroji meluncurkan Labeur Jahe, jahe merah instan hasil racikannya sendiri. Istimewanya, jahe merah instan racikan Syaeroji terdiri dari bahan rempah tumbuhan seperti jahe merah, mahkota dewa, dan gula aren, serta tanpa bahan kimia dan pengawet. "Produk ini memakai bahan dasar dari rempah yang dipercaya sebagai obat, jadi aman dan tanpa efek samping," kata Syaeroji yang akrab dipanggil Oji ini.

Oji mengatakan Labeur jahe berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti rematik, asam urat, persendian, sesak nafas, flu, melancarkan peredaran darah, serta dapat menambah stamina dan gairah.

Sejatinya, Oji telah memulai usahanya tahun 1996 lalu. Namun, kala itu dia belum mencoba peruntungan di usaha racikan jahe merah ini. Awalnya, Oji hanya menjual gula aren, gula semut, gula merah, madu, dan emping melinjo saja.

Seiring berjalannya waktu, kata Oji, semakin banyak konsumen yang menanyakan tentang jahe merah instan. Oji lantas mencoba meracik sendiri jahe merah dengan ditambah mahkota dewa yang berkhasiat sebagai obat. Tak dinyana, baru sebentar diluncurkan ke pasar peminatnya hingga ke pelosok negeri dan mancanegara. Dalam sekejap, Labeur jahe menjadi primadona diantara produk Oji yang lainnya. (Kompas)




Catur dari Koran Bekas            
Selasa, 29 Juni 2010 09:14
Memainkan catur dan papan dari kayu sudah biasa. Begitu pula dengan memainkan catur menggunakan media elektronik seperti komputer atau laptop. Namun, akan berbeda kalau mencoba bermain catur wayang koran bekas. Bentuknya sedikit aneh, tetapi tetap apik dipandang.

Adalah Burhan Gatot (39), warga Baluwarti, Kota Solo, yang menelurkan ide nakal itu. Ia menyulap limbah koran bekas yang biasanya hanya dibuang, dijual dengan sistem kiloan, atau berakhir sebagai pembungkus makanan, menjadi benda seni berupa tokoh pewayangan. Bentuknya unik, dari koran yang diulin hingga memadat.

Bidak catur dari koran bekas tersebut ada yang berbentuk sosok Srikandi sedang memanah atau berupa Arjuna. Ia menjual karya ini mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 50.000 per buah. Harga disesuaikannya dengan tingkat kerumitan membentuk replika tokoh pewayangan.

Dia juga membuat papan catur dan bidak yang seluruhnya dari koran bekas. Bidak catur itu dibuat dengan atribut prajurit masa Majapahit. Sementara papan dibuat dari kertas koran bekas yang dijadikan bubur kertas dan dikeraskan. Panjang dan lebar papan itu sekitar satu meter. "Yang ini masih belum saya jual. Masih jadi koleksi dahulu. Ada yang menawar Rp 500.000, tetapi belum saya jual," tutur Burhan, baru-baru ini.

Burhan sebenarnya sudah mendapat pekerjaan tetap sebagai teknisi teknologi dan informasi di salah satu media lokal di Kota Solo. Namun, hal ini tidak menghalangi dia untuk terus berkreasi dengan koran bekas.

Dia mengaku memulai usaha pengolahan limbah ini lantaran hobi, sekaligus ada setitik idealisme penyelamatan lingkungan. Ia mengawalinya dengan membuat aneka barang fungsional, seperti tempat tisu, vas, atau tas dari koran bekas pada tahun 2005-2006. Namun, kejenuhan membuat produk yang sama membuat ia mengarahkan pengolahan limbah ini ke arah seni daur limbah awal tahun 2010.

Omzet usahanya bervariasi mulai dari ratusan ribu rupiah per bulan, tetapi jika sedang ramai pesanan bisa mencapai Rp 3 juta per bulan. Ia juga bisa mengupah lima pekerja untuk membantunya.

Untuk pemasaran produknya, dia masih memasarkan sebatas melalui situs dengan pasar lokal. Hasil karya daur ulang, apalagi yang nyeni, memang lebih sukar dipasarkan karena peminatnya lebih terbatas. "Di sini memang masih kurang penghargaannya. Pernah ada yang melihat berkomentar masa barang dari koran bekas harganya mahal," tuturnya. (Kompas)



Manfaatkan Pelepah Pisang Jadi Kerajinan Tangan            
Sabtu, 19 Juni 2010 10:51
Memanfaatkan limbah dan menyulapnya menjadi barang yang bernilai jual tinggi diterapkan betul oleh Rusman Pujiono untuk mengubah pelepah pisang jadi sesuatu yang beharga. Pria yang berusia 59 tahun itu mengubah limbah pelepah pisang menjadi berbagai macam kerajinan tangan.

"Tadinya saya berpikir pelepah pisang pasti selalu dibuang dan dibakar karena dianggap sampah. Namun tidak bagi saya karena benda tersebut bisa dimanfaatkan," katanya.

Karya pertamanya berupa kap lampu, dan ternyata, kerajinan itu disukai oleh banyak orang. Dari situ, dia memulai mengembangkan usaha di bidang kerajinan tangan dari pelepah pisang sejak 2003 di Jalan Sumur Adem RT 03/RW 01, Bangetayu, Genuk, Semarang, Jawa Tengah.

Selain kap lampu, dia juga menghasilkan berbagai karya dari limbah pelepah pisang mulai dari lukisan, kotak surat, serta kerajinan-kerajinan dari limbah kayu mebel yang dibentuk menjadi replika bangunan ikon Kota Semarang.

Pameran karya-karya Rusman pun telah mengangkat nama Kota Semarang karena telah dibawa oleh beberapa kantor dinas ke luar negeri dan dipamerkan hingga ke Bali.

Namun hingga saat ini kendala dalam usahanya yaitu belum ada pasar untuk memasarkan produknya. "Sampai saat ini, saya masih menitipkan produk-produk saya di sebuah galeri di Semarang," ungkap Rusman juga Ketua Paguyuban IKM dan UKM Kota Semarang ini.

Untuk dirinya sendiri dan usaha yang digelutinya, dia selalu melakukan inovasi dengan jenis-jenis kerajinan yang berubah dan berkembang. "Kemampuan ini bukan saya miliki sendiri, tapi juga akan saya sebarluaskan ke orang lain, terutama generasi muda yang ingin menggelutinya," tambahnya. (*/SM)



Kue Cokelat dari Ampas Tahu            
Senin, 14 Juni 2010 11:07
Harga kedelai yang melambung membuat Subiyati memutar otak. Jika selama ini bahan baku tersebut hanya untuk membuat tahu Serasi Bandungan dan susu kedelai, jelas sulit untuk kembali modal. Dua bulan lalu, dia mencoba membuat ampas tahu menjadi roti cokelat atau cookies. Bekerja sama dengan Universitas Soegijapranata Semarang dia memulai melakukan inovasi. "Cookies ini kami beri nama Amta Serasi. Amta dari kata ampas tahu." terang Subiyati di rumahnya di Karanglo, Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, baru-baru ini.

Membuat cookies ini, didasarkan pada sebuah pemikiran bagaimana meningkatkan nilai tambah hasil, yang tadinya ampas untuk pakan ternak semata. Selain roti Amta yang dikemas dalam toples plastik, Subiyati yang merupakan ketua Kelompok Tani Damai Desa Kenteng, juga telah berhasil membuat susu kedelai bubuk instan. Kemasan susu kedelai ini juga cukup menarik dan diberi label Serasi sesuai slogan Kabupaten Semarang.

Subiyati yang memiliki lebih dari 30 anggota menjelaskan, roti Amta ini dibuat dari ampas tahu, telur, gula, terigu, mentega, kuning telur, cokelat, baking powder, dan susu bubuk. "Supaya tidak mudah rusak, Amta ini saya kemas dalam toples plastik. Setiap toples untuk 1,5 ons. Satu toples ini dijual Rp 10 ribu," tuturnya.

"Saya dulu mendapat pelatihan bersama kampus. Saya juga sudah tularkan pengetahuan ini kepada para anggota. Diharapkan mereka juga ikut membuat kue ini," terang Subiyati. Dengan segenap keyakinan, dia yakin usaha yang dirintisnya bisa berhasil meski menunggu waktu. "Kue Amta ini resikonya sedikit, karena kue tahan lama. Untungnya cukup lumayan," imbuh dia.

Komposisi ampas tahu dibanding tepung terigu, 150 gram ampas dan 100 gram terigu. Ke depan pihaknya akan eksperimen 25 % terigu dan 75 % ampas tahu. "Semua kue yang bisa dibuat dari tepung terigu bisa disubstitusikan dengan ampas tahu. Lima kilogram jadi lima toples," terang Subiyati. (*/SM)



Nata de Cassava dari Limbah Tapioka            
Selasa, 01 Juni 2010 13:44
Orang mungkin sudah banyak mengenal nata de coco sebagai penganan hasil fermentasi air kelapa. Tapi, belum banyak yang mengenal nata de cassava. Kudapan baru hasil olahan limbah pembuatan tepung tapioka ini kini makin banyak diminati. Peluang usahanya pun kini terbuka.

Pernahkah Anda mencicipi nata de cassava? Jangan-jangan baru kali ini nama ini hadir di telinga Anda. Ya, dari namanya jelas bisa ditebak kalau penganan ini berbahan dasar singkong.

Bentuk dan tekstur nata de cassava mirip nata de coco.  Putih dan kenyal. Hanya saja ada perbedaannya. Selain rasa nata de cassava yang berasa singkong, penganan ini dibuat dari hasil fermentasi air perasan sisa produksi tepung tapioka dengan mikroba acetobacter xylinum. Sementara nata de coco dibuat dari fermentasi air kelapa.

Adalah Warsinah, seorang pengusaha tepung tapioka di  Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang mengembangkan nata de cassava  sejak Mei 2009. Perempuan sederhana ini berhasil memproduksi nata de cassava berkat bantuan sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengadakan praktik kuliah kerja nyata (KKN) di daerahnya, satu setengah tahun silam.

Mahasiswa KKN tersebut mengajarinya cara mengolah limbah cair produksi tepung tapioka menjadi sesuatu yang berguna. Padahal, “Tadinya limbah itu cuma saya buang karena baunya tidak sedap,” terang Warsinah.
Warsinah sendiri merupakan generasi ketiga pembuat tepung tapioka di Pundong. Ia mewarisi usaha pembuatan tepung tapioka dari sang nenek.

Kini, usaha pembuatan nata de cassava menjadi pemasukan tambahan bagi keluarganya di samping usaha pembuatan tepung tapioka.
Setiap hari, Warsinah mengaku bisa menjual nata de cassava dengan omzet Rp 150.000 per hari atau sekitar Rp 4,5 juta sebulan. Sebuah penghasilan yang sangat lumayan untuk ukuran taraf hidup di Pundong, Bantul.
Sementara dari usaha tapiokanya, Warsinah setiap hari bisa memproduksi 40 kilogram tepung tapioka. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet penjualan tepung tapiokanya sebesar Rp 6 juta.  Harga jual tepungnya sendiri Rp 5.000 per kg.

Cara pengolahan nata de cassava sebenarnya tak sulit. Hanya saja, pengolahannya butuh proses selama enam hari. Hari pertama, limbah cair tapioka direbus bersama dengan ampas singkong. Hari kedua, rebusan tersebut disaring lalu dituang dalam nampan. Hari ketiga, bibit nata dicampurkan ke dalamnya. Cairan fermentasi tersebut akan menjadi nata pada hari kelima atau keenam.

Karena saban hari Warsinah harus mengolah tepung, proses pembuatan nata de cassava selalu berjalan setiap hari di pabriknya. Dalam sehari, 250 liter limbah tapioka bisa diolah menjadi 150 lembar nata yang disimpan dalam nampan khusus. Harga jualnya masih miring, yaitu Rp 1.000 per nampan. "Saya jual ke seorang penadah di Bantul," kisah nenek 63 tahun ini.
Tak disangka, respons pasar sangat positif. Bahkan, tak jarang Warsinah kewalahan memenuhi pesanan sang penadah tersebut.

Saat memulai usaha nata de cassava, Warsinah mengaku mengeluarkan modal sekitar Rp 35 juta. Dana ini dipakai untuk membeli peralatan dan 30 lusin nampan. "Uangnya dari uang tabungan dan dari pinjaman bank," ujarnya.
Untuk penyajian, Warsinah menganjurkan, setelah nata dipotong-potong kecil sebaiknya direbus dua kali dengan air yang berbeda. Tujuannya agar nata benar-benar bersih dan bau bibit natanya hilang. Setelah itu, nata bisa segera direbus dengan air gula atau dicampur dengan air sirop.

Warsinah sendiri mengaku tidak takut akan kekurangan bahan baku singkong, karena daerahnya kaya akan ubi kayu ini. Harga jual singkong pun hanya Rp 700 per kilogram.

Tentu saja ada yang patut diperhitungkan dalam bisnis ini. "Kendala usaha ini adalah musim hujan," katanya. Jika tidak telaten menyelimuti bahan fermentasi, akan tumbuh jamur yang merusak produk. "Paling bagus, fermentasi disimpan dalam suhu 30º-31º Celsius,” ungkap ibu tiga anak ini. (Tabloid Kontan)



Celemek Khusus Menyusui            
Senin, 24 Mei 2010 14:03
Konsep Amati Tiru Modifikasi (ATM) dalam berbisnis terbukti berhasil membawa peruntungan bagi banyak pengusaha. Begitu pun yang terjadi pada Mamita, merek nursing apron (celemek menyusui). Mamita diambil dari bahasa Spanyol yang berarti little mama, atau sebut saja ibu muda.

Lala Sirat (31) bersama adiknya, Sasha Sirat (24), membangun bisnis nursing apron sejak 2007, diawali dengan keinginan berbagi rasa nyaman atas privasi ibu menyusui.

Pengalaman Lala saat memberikan ASI eksklusif dengan menggunakan nursing apron menjadi ide bisnis menarik. Saat itu belum ada produsen lokal yang menyediakan produk semacam ini. Sekalipun sejumlah ibu menggunakannya, celemek menyusui itu didapatkan dari luar negeri. Menyediakan produk lokal tak jadi satu-satunya alasan bagi Lala. Perbedaan iklim di Amerika (negeri produsen nursing apron), menjadi alasan lain berkembangnya bisnis ini.

"Nursing apron dari luar berbahan lebih tebal karena menyesuaikan suhu di sana yang lebih dingin. Jika produk impor tersebut digunakan di Indonesia menjadi kurang nyaman untuk bayi," papar Lala kepada Kompas Female.

Iklim tropis di Indonesia mendatangkan peruntungan bagi Lala. Sejak 2007, bermodalkan Rp 1 juta Lala mulai memproduksi celemek menyusui dengan bahan lokal. Bahan katun lebih banyak digunakan untuk memberikan rasa nyaman untuk si bayi.

"Awalnya untuk penggunaan pribadi. Lantaran sering digunakan saat kumpul bersama teman, akhirnya satu persatu mulai banyak yang pesan," kisah Lala.

Bermula dari pesanan pertemanan inilah, Mamita berkembang menjadi brand celemek menyusui asli Indonesia dengan penjualan sebanyak 50 - 100 produk per bulannya. Saat ini Mamita memiliki tiga jenis produk yakni nursing apron, sling (selendang gendongan), dan BIB (celemek bayi).

Konsep bisnis ATM lebih jauh berkembang menjadi pengembangan produk yang saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan segmen perlengkapan bayi.

Kreativitas Lala yang memiliki latar belakang fashion stylist pun mendukung penuh bisnisnya. Variasi motif dan warna terus dikembangkan demi memenuhi sebanyak mungkin keinginan pelanggan. Jika bicara desain, mungkin tak banyak pengembangan. Karena produk sarat manfaat ini memang cukup sederhana.

"Untuk apron ada dua model, yakni jaring buka dan jaring tutup. Mamita memberikan pilihan untuk ibu muda maupun yang berpengalaman. Biasanya ibu muda atau pemula lebih menyukai jaring tutup karena masih belum terbiasa menggunakannya," jelas Lala.



Nikmatnya Es Krim Ketela            
Minggu, 16 Mei 2010 11:38
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berhasil membuat es krim dari singkong. Singkong kini tak lagi menjadi makanan "kampung."

Pada awalnya, pembuatan makanan dari bahan ketela ini karena Fakultas Pertanian ingin meningkatkan nilai ekonomi dari ketela. Ketela yang dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat mampu disulap menjadi makanan modern. Salah satunya adalah es krim.

Menurut Anton Cahyono, mahasiswa UMY mengungkapkan bahwa es krim dari ketela ini bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari ketela. "Dengan mengolah menjadi makanan yang cukup modern ini, kami berharap makanan dengan bahan baku ketela lebih diterima masyarakat luas," ungkap Anton Cahyono.

Pembuatan es krim ketela ini tidak rumit. Bahan pembuatan es krim ini adalah ketela, susu bubuk, air, tepung maizena, gula dan sari buah. Bahan-bahan tersebut diblender secara bersama-sama kemudian didinginkan.

Untuk ketela yang digunakan adalah ketela rambat, baik ketela putih maupun ungu. Saat ini, pemasaran produk olahan singkong dilakukan di lingkungan kampus. Di bantu Agrimart, yaitu semacam unit usaha pemasaran milik pertanian UMY yang khusus menjual produk-produk olahan Fakultas Pertanian UMY.

Tiap hari penjualan es krim mencapai 250 cup atau 20 liter. Saat ini pembeli masih terbatas pada mahasiswa UMY saja. Ada berbagai macam rasa yang ditawarkan. Mulai dari es krim rasa coklat, wortel, nangka, jeruk dan blackcurrant.



Mocaf, Pengganti Tepung Terigu            
Kamis, 06 Mei 2010 09:39
Setiap tahun, pemerintah dan dunia usaha selalu dipusingkan gejolak harga tepung terigu. Padahal, terigu termasuk salah satu bahan makanan pokok bangsa Indonesia.

Banyak hal telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi gejolak harga terigu ini. Salah satunya dengan menurunkan tarif bea masuk terigu impor. Namun,upaya mengatasi gejolak harga terigu terbukti tidak efektif. Harga tepung terigu sering bergejolak. Akibatnya, ratusan ribu pengusaha di kalangan usaha mikro kecil menengah (UMKM), yang mengandalkan terigu sebagai bahan baku, tak pernah bisa berusaha dengan tenang.

Sebenarnya, kalau mau, ada upaya lain yang bisa meredam kegelisahan akibat lonjakan harga terigu ini, yakni dengan menggenjot produksi mocaf (modified cassava flour). Tepung yang berbahan baku singkong ini, dalam hal mutu dan kandungan, tak kalah dari terigu yang dibuat dari gandum. Produksinya yang melalui proses fermentasi membuat mocaf tidak lagi beraroma singkong dan memiliki kekentalan serta elastisitas adonan yang tinggi. Dengan demikian, mocaf sangat cocok untuk menggantikan posisi terigu dalam pembuatan mi instan dan aneka makanan lain. Prinsip dasar pembuatan tepung mocaf adalah memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi.Mikroba yang tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati.

Proses liberalisasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas,kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan terimbibisi dalam bahan dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa ubi kayu yang cenderung tidak menyenangkan konsumen. Selama proses fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna seperti pigmen (khususnya pada ketela kuning) dan protein yang dapat menyebabkan warna cokelat ketika pemanasan.

Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa. Selain itu, proses ini akan menghasilkan tepung yang secara karakteristik dan kualitas hampir menyerupai tepung dari terigu. Produk mocaf sangat cocok menggantikan bahan terigu untuk kebutuhan industri makanan. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa produk mocaf secara ekonomis ternyata jauh lebih murah daripada produk terigu yang selama ini beredar di pasaran. Bahan baku yang mudah dibudidayakan,harga ubi kayu di pasaran yang murah, serta proses pengolahan tepung yang tidak memerlukan teknologi tinggi membuat harga mocaf saat ini hanya berkisar antara 40–60% dari harga terigu.

Hal ini membuat produk jadi apa pun yang dihasilkan dari mocaf ini akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan tepung terigu. Selama ini, lantaran kualitasnya, penggunaan tepung ubi kayu biasa masih sangat terbatas. Untuk bahan makanan misalnya, seperti substitusi terigu sebesar 5% pada mi instan, menghasilkan produk dengan mutu rendah. Namun aplikasi tepung mocaf dengan karakteristik yang dijelaskan di atas ternyata mampu menghasilkan produk makanan berkualitas. Hasil uji coba menunjukkan mocaf dapat digunakan sebagai bahan makanan dengan penggunaan yang sangat luas.

Mocaf ternyata tidak hanya bisa dipakai sebagai bahan pelengkap, tetapi juga dapat langsung digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan mulai dari mi, bakery, cookies hingga makanan semi basah. Dengan sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya, karena produk ini tidaklah sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu, tepung beras atau yang lainnya, dapat dihasilkan produk yang bermutu optimal. Kue brownish, kue kukus, dan spongy cake dapat dibuat dengan berbahan baku 100% mocaf sebagai tepungnya.Produk yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan produk yang dibuat menggunakan tepung terigu tipe berprotein rendah (soft wheat).

Sebagai produk yang pengembangan volumenya berdasarkan kocokan telur, tidaklah sulit bagi mocaf untuk mengganti tepung terigu tersebut. Kue-kue berbahan baku mocaf ternyata mempunyai ketahanan terhadap dehidrasi yang tinggi sehingga mampu disimpan dalam 3–4 hari tanpa perubahan tekstur yang berarti. Mocaf telah diuji coba untuk digunakan pada beragam kue kering seperti cookies, nastar, dan kastengel di mana 100% tepungnya menggunakan mocaf. Uji coba menunjukkan, kue kering yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan produk yang dibuat menggunakan tepung terigu tipe berprotein rendah. Untuk kue basah, telah diuji coba aplikasi mocaf pada kue lapis tradisional yang umumnya berbahan baku tepung beras atau tepung terigu dengan ditambah tapioka.

Hasilnya menunjukkan bahwa mocaf dapat menggantikan tepung beras maupun tepung terigu 100%. Kue lapis yang dihasilkan bertekstur lembut dan tidak keras. Hasil ini menunjukkan bahwa mocaf dapat pula menggantikan tepung beras yang saat ini kian mahal. Di samping itu, telah juga dilakukan uji coba substitusi tepung terigu dengan mocaf dengan skala pabrik. Hasilnya menunjukkan bahwa hingga 15% mocaf dapat menyubstitusi terigu pada mi dengan mutu baik dan hingga 25% untuk mi berkelas rendah, baik dari mutu fisik maupun organoleptik. Secara teknis pun proses pembuatan mi tidak mengalami kendala yang berarti jika mocaf digunakan untuk menyubstitusi terigu. Alternatif aplikasi mocaf sebagai food ingredient yang lain adalah penggunaannya pada makanan bayi.

Dengan sifat-sifat yang dimiliki bahan ini, secara teknis tidaklah sulit untuk mengaplikasikan pada produk ini.Kendati demikian, mengingat makanan bayi mempunyai spesifikasi yang khusus, maka diperlukan kajian yang cermat agar hal ini terwujud, misalnya kajian tentang oligosakarida penyebab flatulensi yang diramalkan sudah terpecahkan selama fermentasi.Kajian ini penting sehingga bayi tidak mengalami kembung ketika mengonsumsi produk ini. Nah, produksi mocaf inilah yang sejak beberapa tahun lalu giat diusahakan oleh masyarakat Trenggalek, Jawa timur. Pemain utama mocaf di daerah ini adalah CV Insan Sejahtera yang didirikan oleh Mulyono Ibrahim (almarhum) dan Subandiyanto.

Kedua orang yang dikenal bersahabat ini mendirikan CV Insan Sejahtera pada 2006. Namun, karena sakit asma, Mulyono dipanggil Sang Khalik pada Oktober 2009. Meninggalnya Mulyono membuat Subandiyanto kini seorang diri mengembangkan usaha. Istri Mulyono, Nunung Purnamaningsih, memang turut dilibatkan, tetapi tidak terlalu aktif. Dengan mengandalkan produksi dari 19 kluster (unit usaha produksi bahan baku mocaf yang dikelola petani), Insan Sejahtera mampu memproduksi 60 hingga 100 ton mocaf per bulan. Kalau sesuai rencana dan mendapat dukungan modal dari perbankan, produksi Insan akan dinaikkan pada 2010 menjadi 500 ton per bulan. Asal tahu saja, CV ini sebelumnya telah dua kali mendapat pembiayaan dari BNI Syariah dengan nilai total sebesar Rp350 juta.

Faktor modal, untuk sementara ini, memang sangat menentukan tingkat pertumbuhan produsen mocaf. “Karena tidak memiliki mesin pengering, produksi hanya bisa dilakukan kalau ada sinar matahari. Akibatnya, CV Insan mesti menerapkan sistem stok (persediaan) untuk masa enam bulan.Keterbatasan ini juga membuat perusahaan seperti CV Insan tak berani menerima pesanan yang kontinu dalam jumlah besar. Terutama dari pabrik-pabrik makanan,” kata Subandiyanto. Kendala demikianlah yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Apalagi, seperti dikemukakan di atas,mocaf bisa dijadikan sebagai pengganti tepung terigu.Artinya, jika seluruh terigu impor digantikan dengan produk ini, Indonesia bisa menghemat devisa yang cukup besar.

Yang lebih elok lagi,produsen makanan berskala besar tak keberatan memakai bahan baku ini karena, selain kualitasnya setara, harganya juga lebih murah 35% dari tepung terigu. Dampak positif lain dari mocaf adalah adanya peningkatan kesejahteraan petani. Berkat adanya unit usaha seperti CV Insan, pendapatan petani ikut terangkat. Betapa tidak? Singkong mentah yang semula hanya dihargai Rp200 kini telah meningkat menjadi Rp350/kg. Itu sebabnya, rencana pemerintah yang akan meningkatkan produksi mocaf menjadi 2 juta ton per tahun mendapat sambutan hangat dari kalangan petani dan produsen di Trenggalek,termasuk CV Insan Sejahtera.



Bubur Buah untuk Siasati Panen Besar            
Jumat, 30 April 2010 11:33
Bubur atau puree memberikan banyak manfaat bagi para pengusaha buah. Dalam bentuk puree, selain tahan lama, buah juga mudah disimpan. Kepraktisan inilah yang membuat permintaan puree di dalam maupun luar negeri cukup besar. Bahkan, pasokan yang ada belum mencukupi.

Kita tidak bisa menyimpan buah segar dalam waktu yang terlalu lama. Karenanya, saat panen melimpah, penyimpanan buah menjadi masalah. Banyak buah yang terbuang sia-sia karena membusuk.

Salah satu solusi masalah ini adalah dengan membuat bubur atau puree dari buah. Maklum, dalam bentuk puree, buah dapat disimpan dengan lebih mudah dan lebih tahan lama.

Sholeh BH Kurdi, pemilik CV Promindo Utama, sudah memproduksi puree buah sejak tahun 2004. Promindo Utama adalah salah satu binaan pengusaha Departemen Pertanian. Promindo juga menjadi pilot project produsen puree di Jawa Barat.

Awalnya, Sholeh hanya ingin menampung sisa panen mangga yang berlimpah di Cirebon. Sebab, buah ini tak dapat bertahan lama dan hanya berbuah di musimnya.

Nah, dalam bentuk puree, produsen mangga bisa menyimpannya sampai tujuh bulan. "Bisa bertahan hingga musim panen mangga selanjutnya," kata Sholeh.

Untuk membuat puree itu, Sholeh melumatkan buah dan menyaringnya hingga menjadi berbentuk seperti bubur. Ia lalu memproses bubur dengan mesin pasteurisasi sebelum mengemas dan menyimpannya. Dia biasa mengemas puree dalam kemasan botol ataupun jerigen.

Sholeh tak hanya membuat puree dari Mangga. Dia juga memproduksi puree jambu biji, sirsak, stroberi, lemon, dan puree nanas.
Dia menjual hampir semua produknya dengan harga Rp 15.000 per liter. Cuma harga puree mangga gedong gincu dan stroberi yang berbeda, yakni Rp 20.000 per liter dan Rp 18.000 seliter.

Promindo membuat puree berdasar pesanan yang masuk. Tiap bulan, Sholeh menjual tiga sampai lima ton puree. Artinya, Sholeh kira-kira meraup omzet minimal Rp 45 juta per bulan.

Dia mendistribusikan puree ke pabrik jus buah di Jakarta dan Bandung. Konsumen puree lainnya adalah pembeli langsung.

Bubur buah ini memiliki banyak kegunaan, misalnya untuk membuat selai, campuran yoghurt, ataupun topping untuk puding. Bisa juga untuk membuat jus buah untuk konsumsi sendiri ataupun dijual di gerai eceran. Kita tinggal menambahkan gula dan air.

Adapun Sutomo, pemilik PT Semesta Alam Petro, hanya khusus membuat puree buah markisa. Cara pembuatannya sedikit berbeda.

Sutomo mengambil daging markisa dan memisahkan bijinya. Lalu, dia membekukan air sari buah markisa. "Selanjutnya, terserah mau membuat sirup atau jadi bahan kue," kata Sutomo.

Sutomo melihat, bisnis puree markisa memiliki pasar yang potensial. Saat ini, dia tengah melayani pengiriman puree markisa untuk pasar Australia. Setiap tiga bulan sekali, dia mengirim 15 ton puree markisa ke Australia.

Untuk pasar ekspor, Sutomo menjual puree markisa itu seharga US$ 1,9 per kilogram. Alhasil, Sutomo meraup omzet Rp 90 juta-Rp 100 juta saban bulan dengan margin keuntungan 30%.

Untuk melayani kebutuhan pasar lokal, Sutomo memproduksi puree markisa dalam bentuk sirup. Sirup tersebut terbuat dari sari markisa murni yang dipanaskan dan ditambah gula sebagai pengawet.

Dia menjual sirup markisa ini di Jakarta dan Surabaya dengan harga grosir Rp 10.000 per botol ukuran 500 mililiter. Karena produk baru, Sutomo mengumpulkan omzet Rp 20 juta per bulan. "Marginnya sangat kecil, hanya sekitar 5%," kata Sutomo.

Sutomo melihat prospek bisnis puree markisa sangat cerah khususnya untuk pasar manca negara. Pasokannya ke Australia itu hanya separuh dari permintaan pasar di sana. Adapun kebutuhan puree markisa di Eropa mencapai 120.000 ton setahun. Kebutuhan tersebut merupakan 30% total dari kebutuhan dunia. (Kontan)

Bergizinya Tepung Biji Nangka            
Selasa, 20 April 2010 14:27
Tak selamanya limbah berakhir ditempat pembuangan, sebut saja lima orang dari Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang sukses menyulap limbah menjadi jajanan siap saji.

Adalah Diana Apriliyana Nur, Nanda Aulya, Ratih Kumala Sari, Akbar Fahmi, dan Nurul Azizah yang mengubah biji nangka menjadi lebih bernilai. Ratih mengaku proses pembuatan tepung biji nangka ini terbilang cukup  mudah. Mereka optimistis inovasi tersebut dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas.

“Awalnya biji-biji nangka tersebut di jemur terlebih dahulu, untuk meminimalisasi kadar air didalamnya, baru setelah itu kulit biji nangka itu dikuliti dan kemudian daging biji nangka itu dihaluskan kedalam mesin penggiling,” ungkapnya.

Dari bahan dasar tepung biji nangka yang mereka buat, mereka kemudian membuat sebanyak 2 jenis jajanan seperti donat isi selai.

Ratih mengaku pemakaian tepung biji nangka ini memiliki beberapa nilai tambang dibangding dengan tepung terigu biasa . Selain kandungan gizi yang meliputi protein, serat dan karbohidratnya terbilang cukup tinggi, pemakaian tepung biji nangka  ini terhitung juga cukup hemat karena tepung biji nangka itu terbuat dari bahan limbah yang murah. (*/ dari berbagai sumber)


Gurihnya Lele Organik            
Kamis, 15 April 2010 13:08
Teletong alias kotoran sapi rupanya tak hanya bermanfaat untuk pupuk organik. Di Banyuwangi, Jawa Timur, kotoran sapi saat ini juga populer untuk budidaya lele organik. Tak perlu beli pakan, hasil panen ternyata lebih gurih.

Abdul Kohar, salah satu petani Banyuwangi yang ikut mengembangkan budidaya lele organik mengatakan bahwa konsep budidaya lele organik mengadopsi pola hidup lele di alam bebas, dimana media hidup dan pakannya berasal dari bahan organik. Di belakang rumahnya, Jalan Temuguruh, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, ia membikin 12 kolam berukuran masing-maisng 3,5 meter x 4 meter untuk membudidayakan lele organik sejak masih benih hingga siap konsumsi.

Menurutnya, berbeda dengan budidaya lele nonorganik, biasanya dilakukan tanpa perlakuan khusus dengan pakannya berasal dari pabrikan (pelet).

Hasilnya tentu saja berbeda. Ukuran lele organik ternyata lebih panjang, antara 25-30 centimeter dibandingkan lele biasa. Warna lele organik kemerah-merahan, terutama di bagin sirip dan insang. "Lele biasa warnanya sedikit lebih hitam," terang Abdul Kohar.

Lele organik juga lebih menonjol dalam hal rasa. Tekstur daging lebih kesat, kenyal, dan gurih, hampir menyamai rasa lele yang hidup di alam bebas. "Dan tentunya, lebih sehat," tegas petani lulusan Teknik Nuklir, Universitas Gajah Mada ini.

Membudidayakan lele organik memang membutuhkan keuletan tersendiri. Sebabnya, kata dia, setidaknya terdapat empat tahapan yang harus dilakukan. Tahap pertama, adalah penebaran benih lele pada kolam berisi air dan kotoran sapi yang telah dikomposing selama satu bulan. Kotoran sapi tersebut ditempatkan dalam tiga karung goni tertutup.

Kohar biasa menebar 21 ribu benih yang dibelinya dari daerah sekitar seharga Rp 25 per benih. Bila benih berusia dua minggu, kemudian dilakukan seleksi untuk benih yang berukuran 4-5 milimeter. Benih tersebut dipisahkan di kolam berikutnya selama dua minggu hingga benih berdiameter 10 milimeter. Dua minggu berikutnya, lele diseleksi untuk yang berukuran 20 milimeter.

Sejak benih lele berdiameter 10 milimeter itu, kolam yang berisi air dicampur langsung dengan pupuk organik dari kotoran sapi hingga setinggi 20 centimeter. Dari cara ini, kotoran sapi akan menghasilkan banyak plankton yang menjadi makanan utama lele.

Lele organik, baru siap dipanen saat usianya delapan minggu. Kohar menceritakan, setiap kali panen ia bisa menghasilkan enam kuintal lele, dengan harga Rp 9 ribu perkilogramnya. Meski pasarnya masih seputar Banyuwangi, namun menurut dia, budidaya lele organik hemat biaya hingga 40 persen. Sebab ia tak perlu lagi membeli pakan pabrikan.

Keuntungan lainnya, air di dalam kolam lele tidak menghasilkan bau busuk seperti halnya lele non organik. Sehingga ia tak perlu repot mengganti air dalam kolam. "Menghemat biaya dan tenaga," kata ayah enam anak ini.

Di tangan Kohar pula, sisa air dalam kolam lele ternyata masih bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman padinya seluas satu hektar.

Kohar sebenarnya sudah akrab dengan pupuk organik sejak tahun 2005 lalu. Ia juga tercatat sebagai salah satu petani yang konsisten memakai pupuk organik untuk tanaman padinya. Sebelum membudidayakan lele organik empat bulan lalu, kotoran ternak sapinya yang berjumlah enam ekor langsung dimanfaatkan untuk tanaman padi.

Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S Sirtanio) Samanhudi mengatakan, budidaya lele organik di Banyuwangi masih dikembangkan oleh enam petani. Pasarnya juga masih terbatas di Banyuwangi.

Menurut dia, hal itu disebabkan karena budidaya lele organik masih tergolong baru sehingga belum populer di masyarakat. Lele, kata dia, masih menjadi makanan favorit di masyarakat. Namun kebanyakan yang beredar, mengandung residu akibat pemakaian bahan kimia yang tinggi. "Berbeda, kalau organik sudah bebas zat kimia," terangnya.



Hertic, Si Musuh Nyamuk            
Selasa, 13 April 2010 10:30
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menciptakan "hertic" atau herbal elektrik yang merupakan lampu penerang ruangan yang juga berfungsi antinyamuk.

"Ada lima fungsi `hertic` yakni penerang ruangan, pengharum ruangan, aroma terapi, pengusir nyamuk, dan elemen interior," kata salah satu penggagas "hertic" Achmad Ferdiansyah baru-baru ini.

Ia mengemukakan hal itu di sela-sela pameran "Bulan Unjuk Prestasi" yang melibatkan satpam kampus, koperasi mahasiswa, BEM, dan lembaga minat bakat (LBM) di Plasa dr Angka ITS itu.

Menurut mahasiswa semester VIII Jurusan Teknik Kimia F-MIPA ITS Surabaya itu, harga lampu "hertic" ciptaannya berkisar Rp189.000,00 dengan harga herbal-nya senilai Rp15.000,00 per kotak.

"Satu kotak berisi tujuh buah herbal yang dibungkus plastik kecil dan bahan herbal itu juga relatif awet karena satu buah herbal untuk dua hari, sehingga bisa untuk 14 hari (setengah bulan)," paparnya.

Ia mengemukakan, herbal elektrik itu kini diikutkan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kemdiknas dan sudah mendapatkan dana hibah dari Ditjen Dikti Kemdiknas senilai Rp7 juta.

"Nantinya akan dievaluasi oleh tim Kemdiknas dan bila dinyatakan lolos akan diikutkan pada PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) di Bali pada Juli mendatang," tuturnya.

Ia menambahkan, herbal elektrik itu dikerjakan lima orang yakni tiga mahasiswa Teknik Kimia dan dua mahasiswa Teknik Elektro, selama dua hari. "Kami juga sudah menguji di Laboratorium Ergonomi ITS untuk menguji pencahayaan, nyala lampu, dan aroma yang disebarkan," ujarnya menambahkan.

Karya mereka juga sudah pernah mendapatkan dua penghargaan yakni "The National Best Product of Internative Studentt Technopreneurship" dan "Natiotechnourship Competition" dari Yayasan HM Sampoerna.

Dalam pemaran itu, juga disajikan permainan edukasi tentang ular tangga yang berisi informasi tentang bahaya pemborosan listrik dan manfaat hemat listrik yang dirancang mahasiswa Teknik Elektro.



Bubuk Sari Kedelai Penambah Nafsu Makan            
Senin, 05 April 2010 14:38
Kedelai merupakan salah satu hasil pertanian di Indonesia yang cukup melimpah. Kedelai ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu. Di sela-sela berbagai tantangan ekonomi yang melanda negeri ini, ternyata Amin Seherman, tetap bertahan karena inovasinya. Bukan memproduksi dua jenis lauk tersebut, tetapi produk lain dari bahan yang sama.

Di tangan Herman, kedelai ini mampu memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Berkat tangan dinginnya kedelai disulap menjadi bubuk minuman siap saji. Usianya yang sudah tua tak menyurutkan semangat hidup warga yang tinggal di Jalan Brantas No 12 RT 05 RW 02 Ngancar, Bawen tersebut.

Berawal dari kegemarannya minum sari kedelai, pensiunan guru itu memulai usaha skala industri rumah tangga. Merintis usaha sejak 1990 dengan cara sederhana, yaitu memblender kedelai. Hasilnya belum memuaskan, tetapi itu tak lantas membuatnya menyerah.

Berbekal Rp 50.000, kakek bercucu dua puluh itu membeli 5 kg kedelai dan membuat sari kedelai bubuk dengan tangannya sendiri. Konsumen mulai tertarik membeli produk buatannya.

"Awalnya sari kedelai ini saya tawarkan ke pasien-pasien di salah satu rumah sakit di Boyolali. Setelah merasakan khasiatnya, banyak yang memesannya. Mereka mengaku minum sari kedelai itu tidur jadi enak dan nafsu makan bertambah," kata Herman.

Lalu, dia mencoba membuat alat penggiling kedelai. Setelah beberapa kali dicoba, hasilnya memuaskan. Dia pun memanfaatkan alat itu untuk memproduksi sari kedelai bubuk hingga sekarang. Hasil produksinya bernilai jual tinggi, Rp 5.500 per 250 gram.

Dia lalu melakukan inovasi produknya dengan menambah bee pollen (tepung sari bunga jantan), dan ini konon belum pernah ada di Jawa Tengah. Bee pollen merupakan salah satu bahan yang dihasilkan oleh lebah madu selain propolis, royal jelly, madu, dan malam (lilin lebah).

Penambahan bee pollen dimaksudkan untuk menambah khasiat sari kedelai. Bahan itu berkhasiat menambah nafsu makan, memperkuat daya tahan tubuh, menjaga stamina tubuh serta memperlancar peredaran darah.

Selain sari kedelai, Herman memproduksi sari kacang ijo, sari beras merah, dan serbat. Sebelum harga BBM naik, dia mampu memproduksi 1-2 ton setiap bulannya. Namun, setelah harga BBM naik, produksinya menurun menjadi dua kuintal dan bertahan sampai sekarang. Dia mengaku mampu meraih omzet sekitar Rp 10 juta per bulan. Dari jumlah itu, dia meraih keuntungan bersih sekitar 10% - 20%.

"Prinsip capai omzet yang besar biar pun keuntungan kecil dan belajarlah dari pengalaman," kata Herman yang produknya telah menjamah kota Purwokerto, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Yogyakarta dan Semarang.

Fluktuasi harga bahan baku yang sulit dikendalikan, keterbatasan modal, sampai kenaikan harga BBM menjadi musuh besarnya dalam mengembangkan usaha. Semua kendala itu menjadi pelajaran yang berharga baginya.

Sampai sekarang belum ada perhatian khusus dari pemda dan kalangan industri , untuk pengembangan produk sari kedelai. Padahal, prospek bahan minuman itu sangat menjanjikan. (Suara Merdeka)



Dendeng dari Daun Singkong            
Selasa, 23 Maret 2010 09:24
Siapa tidak mengenal dendeng, makanan awetan terbuat dari daging digiling halus, dibumbui dengan saus asam, asin atau manis kemudian dikeringkan atau diasinkan dan dijemur. Hasilnya adalah daging yang asin dan semimanis serta tidak perlu disimpan di lemari es. Dendeng yang banyak macamnya seperti dendeng giling, dendeng ragi dan dendeng sayat semuanya biasanya dibuat dari daging sapi.

Namun harga daging sapi yang terus meningkat menjadi suatu masalah tersendiri bagi pengusaha dendeng maupun para konsumen. Sehingga masalah pemalsuan produk dendeng sapi yang bercampur dengan daging babi pun sempat marak beredar di pasar tradisional beberapa waktu lalu.

Berdasar hal itu, Rara Dwi Prasatia, Dewi Istiyaningsih mahasiswa Jurusan Pendidikan IPA dan Fendy Arifiyanto mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA UNY membuatkan suatu upaya atau alternatif lain yaitu dengan mengganti daging sapi dengan daun singkong karena selama ini masyarakat mengenal daun singkong hanya sebagai lalapan atau sayuran saja.

Menurut Rara, dendeng daun singkong itu tak kalah nilai gizinya daripada dendeng daging. Daun singkong mengandung vitamin A, B1 dan C, kalsium, kalori, fosfor, protein, lemak, hidrat arang, dan zat besi. Daun singkong juga mudah dijumpai karena tumbuhan yang berasal dari Brazil itu dapat tumbuh di mana-mana dan banyak ditanam di pekarangan, tanggul ataupun sawah.

Hampir seluruh wilayah Indonesia cocok untuk budidaya tanaman singkong. Tanaman singkong tersebar mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi baik yang dibudidayakan di lahan khusus maupun ditanam sembarangan di kebun atau di halaman. Hampir setiap pekarangan rumah di Indonesia terdapat tanaman singkong karena tanaman itu cepat menghasilkan, berlangsung lama, mudah ditanam dan mudah dipelihara.

Ditambahkan Dewi, semua bagian dari seluruh bagian tanaman singkong dapat dimanfaatkan, namun daun singkong banyak dimanfaatkan hanya sekedar sebagai sayuran saja, bukan sebagai lauk ataupun bentuk lain. Sehingga dengan adanya variasi dalam pembuatan daun singkong menjadi dendeng merupakan sebuah peluang besar dalam membuka usaha.

Jenis usaha pembuatan dendeng daun singkong itu merupakan jenis usaha kecil menengah (UKM), sehingga masyarakat akan dapat menikmati dendeng yang unik dengan harga yang murah. Dendeng yang biasanya dijual dengan harga mahal kini, dapat dibeli dengan harga yang terjangkau dan rasa dari dendeng daun singkong pun hampir sama dengan dendeng yang dibuat dari daging sapi.

Sementara itu, dikatakan Fendy, alat yang dibutuhkan untuk membuatnya adalah kompor, pisau, kukusan, tampah, penumbuk atau mesin penggiling, soblok, dan panci. Sedangkan bumbunya ketumbar, ikan teri, bawang merah, bawang putih, gula merah secukupnya, lengkuas parut (diambil airnya saja), garam dapur dan minyak goreng.

Daun singkong dipilih yang masih muda dan segar, terutama daun singkong bagian atas dan dicuci bersih lalu direbus hingga matang. Rebusan daun singkong tersebut digiling hingga halus. Bumbu-bumbu dihaluskan dan dimasak dalam wajan kemudian daun singkong giling dimasukkan dalam wajan yang berisi bumbu sambil diaduk-aduk hingga merata dan kemudian ditambahkan gula merah sebagai penambah cita rasa.

"Setelah masak dan bumbu tercampur merata adonan dendeng diangkat dan dicetak di atas tampah dengan ukuran dan bentuk sesuai selera. Usahakan dendeng jangan terlalu tebal agar cepat kering. Dendeng dijemur selama 2-3 hari hingga benar-benar kering dan dendeng daun singkong siap digoreng," tambahnya. (Suara Merdeka)


Bergizinya Brownies Tempe            
Senin, 22 Maret 2010 10:06
Kreativitas di zaman sekarang sangat dibutuhkan. Betapa tidak, menghadapi persaingan ekonomi yang semakin pesat, para pelaku usaha khususnya usaha kecil, hendaknya jeli mencari celah keluar dari keterbatasan. Seperti yang dilakukan oleh Anik Suryani misalnya. Pengusaha keripik tempe dari Malang, Jawa Timur ini, menemukan terobosan baru bagi bisnisnya yang bernama Keripik Tempe Aneka Rasa Bu Noer.

Sedikit informasi, Kota Malang, Jatim boleh dibilang terkenal dengan kuliner khas berupa camilan yang beraneka macam dan tidak pernah habis. Hal itu dikuatkan dengan keahlian Anik dalam membuat camilan dari hasil kreativitasnya sendiri.

Menurut Anik yang juga pemilik usaha Keripik Tempe Aneka Rasa Bu Noer, lazimnya keripik tempe hanya berbumbu daun jeruk dan rasanya asin. Namun demi memberikan sesuatu yang baru bagi masyarakat khususnya pencinta camilan khas Malang, ia membuat keripik tempe berbagai macam rasa. Hal itu dilakukan Anik supaya orang tertarik dengan produk hasil usahanya.

"Supaya orang melirik keripik tempe saya, saya ciptakan aneka rasa, ada barbeque, keju, balado, kemudian, jagung bakar manis, pedas, rasa udang, dan ayam bawang," kata Anik.

Biasanya, membuat keripik tempe pasti ada yang jadi dan tidak jadi, hancur berantakan misalnya. Melihat hal demikian, Anik tidak khawatir. Dibuang sayang, mungkin itulah kata yang tepat ditujukan pada Anik. Betapa tidak, dari hasil produksi keripik tempe yang tidak jadi, oleh Anik dijadikan bahan pembuat produk lain. "Kalau tempe yang nggak jadi, dibuang kan sayang, dari situ saya jadikan brownies tempe," kata Anik.

Brownies tempe? mungkin sebagian telinga kita baru mendengarnya. Mengenai alasan Anik menjadikan tempe sebagai bahan dasar brownies, ia mengaku terinspirasi dengan brownies kukus khas Bandung, Jawa Barat. "Di Bandung kan booming brownies kukus, nah saya buat brownies tempe," ungkap Anik.

Ibarat gayung bersambut, terobosan Anik dalam membuat brownies kukus berbuah manis. Usahanya berhasil diminati masyarakat. Kendati demikian, Anik tidak mau berhenti berinovasi. Ia bahkan membuat cake dan roti dari bahan dasar tepung yang berasal dari padi yang ditumbuk atau bekatul. Selidik punya selidik, hal itu lagi-lagi diakui Anik terinspirasi dari produsen roti Healthy Bread.

"Kalau Healthy Bread yang lagi booming itu make bahan dasar kentang dan gandum. Itu mahal. Kalau saya pake bekatul dan juwawut lokal tapi kualitasnya enggak kalah dari gandum," terang Anik.

Tak puas sampai di situ, Anik juga selipkan unsur pendidikan dari sejumlah produknya. Sebagai contoh, pada keripik tempe aneka rasa miliknya. Anik menggunakan kemasan bergambar keadaan Malang tempo dulu, waktu zaman penjajahan Belanda dan masa kini.

Untuk menjaga kualitas rasa dan sebagainya, unsur higienis pada setiap produk camilan tersebut selalu diutamakan Anik. Untuk bahan dasar tempe, Anik mengaku membuat sendiri. Sebab ia takut tempe yang dibeli di luar dicampur bahan-bahan lainnya. Dan untuk menggorengnya, Anik menjamin tidak menggunakan minyak jelantah.

Anik juga tidak mau main kucing-kucingan dengan pembeli. Ia bahkan memperbolehkan konsumen produknya melihat proses produksi usaha camilan tersebut. "Kalau pembeli pengen tau proses produksinya, bisa dilihat di belakang," yakin Anik. (lip6)



Tepung Kulit Pisang yang Bergizi            
Jumat, 12 Maret 2010 14:01
Kulit pisang kerap dibuang begitu saja di sembarang tempat. Jika dibuang sembarangan, maka kulit pisang bisa membuat orang tergelincir. Namun, tiga mahasiswa biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya setelah melakukan serangkaian penelitian menemukan hasil bahwa kulit pisang tidak bisa dianggap remeh.

"Kulit pisang yang sering dianggap barang tak berharga itu, ternyata memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup," kata Sulfahri, salah seorang dari tiga peneliti itu.

Melihat kandungan zat bermanfaat yang cukup tinggi itu, maka ia bersama dua rekan pun mencoba membuat penganan dari bahan kulit pisang itu.

"Semula, kami hanya memproduksi keripik kulit pisang, namun lama-kelamaan timbul ide untuk membuat tepung dari kulit pisang," katanya.

Mahasiswa angkatan 2007 itu mengatakan tepung pisang itu akhirnya digunakan sebagai bahan baku kue bolu. Meski berkali-kali gagal, namun akhirnya mereka menemukan formula yang pas untuk membuat bolu dari kulit pisang. "Kalau dihitung lebih dari 50 kali, namun kami sekarang sudah puas dengan resep bolu yang kami miliki," katanya.

Kulit pisang yang cocok dibuat tepung adalah jenis pisang raja, karena kulit pisang raja lebih tebal dibandingkan jenis pisang lainnya.



Briket dari Kulit Kacang            
Jumat, 12 Maret 2010 13:27
Edy Gunarta merupakan pengusaha briket dari Bantul, Yogyakarta. Uniknya briket buatannya terbuat dari kulit kacang dan batang jagung dengan modal Rp 1,5 juta.

Baru satu tahun merintis usaha, kini Edy telah menjangkau pasar di daerah Yogyakarta, dan sekitarnyanya. Dia mengandalkan promosi briket seharga Rp 2.500 per kilogram ini melalui media yang kerap bertandang ke rumahnya.

Awalnya kulit kacang dijual dengan harga yang minim sekali. Lalu pada awal 2007 Edi berinisiatif mencari cara agar kulit kacang tersebut ada nilai nominalnya.

Edi mengatakan, ide ini muncul dari pengalaman rumah tangganya yang bermula menggunakan serbuk gergaji, lalu dia mencoba mencari cara lain yaitu menggunakan kulit kacang tanah. Didukung oleh Pemerintah Desa yaitu Usaha Unit Desa yang mengadakan pelatihan-pelatihan, ia semakin mendalami potensi ini.

Edi mendapatkan pasokan kulit kacang tanah dari petani dalam bentuk kulit kacang tanah yang kering. Untuk bijinya langsung diolah ke tingkat yang lebih tinggi, dan kulitnya dibuat bahan baku briket.

Untuk perekatnya, Edi menggunakan tepung tapioka dengan perbandingan 1 : 10. Diawali proses pengarangan, lalu kulit ditepung, digiling menjadi serbuk, lalu dicampur dengan adonan, dan proses terakhir adalah dipres sesuai dengan bentuk yang diinginkan.

Menurut Edi, keistimewaan menggunakan briket ini adalah jelaga rumah tangga tidak hitam tapi putih, praktis, mudah dipindah ke mana-mana, lebih murah daripada briket batubara. Untuk memasak 2 liter air dengan durasi masak 11-12 menit, lebih cepat 2-3 menit dengan minyak tanah atau arang biasa.

Untuk pasokan kulit kacang, Edi mempunyai dua titik penggilingan dan di wiliyah Bantul ada lima titik penggilingan untuk pengupasan kacang tanah. Limbah penggilingannya bisa dijadikan bahan baku briket.

Untuk tenaga kerjanya, Edi mempekerjakan pemuda-pemuda dari daerah sekitarnya yang sudah putus sekolah ataupun pengangguran. Ia menjadikan mereka sebagai relasi untuk dapat bekerja sama. Tujuannya untuk meningkatkan sumber daya manusia sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Sungguh suatu ide yang cemerlang.


Gurihnya Sosis Bandeng            
Selasa, 09 Maret 2010 09:39
Aneka olahan ikan bandeng memang udah banyak beredar. Kendati begitu, bukan berarti tak ada peluang bagi produk bandeng olahan lain. Di Bekasi, bandeng diolah menjadi sosis. Tapi jangan keliru, sosis bandeng ini tidak lonjong. Bagian kepala dan ekor ikan tetap dipertahankan.

Ada banyak cara menikmati ikan bandeng. Dulu, bandeng presto sempat menjadi tren. Terobosan ini melindungi para penyantap ikan dari kemungkinan tertusuk tulang bandeng yang begitu banyak.

Kini, ada bandeng olahan dalam bentuk lain. Namanya, sosis bandeng. Beda dengan presto yang hanya membuat duri menjadi lunak, olahan ini memastikan bandeng sudah steril dari duri.

Adalah Imam Tantowi yang menekuni usaha sosis bandeng. Ia merintisnya sejak akhir 2005 di Bekasi. Untuk mendirikan Izzan, merek dagang sosis bandengnya, pria yang disapa Anton ini menggelontorkan modal Rp 1 juta. "Separuhnya saya pinjam dari kakak ipar saya," tuturnya.

Anton menggeluti bisnis ini karena perusahaan media tempatnya bekerja sebelumnya gulung tikar. "Beruntung saya sudah siap-siap," ujar lelaki berusia 35 tahun ini.
Sebelum meluncurkan Izzan, Anton melakukan uji coba resep selama tiga bulan. Racikan yang akhirnya ia pilih adalah menambahkan telor di dalam campuran daging bandeng. "Plus bumbu yang saya racik sendiri," ucapnya.

Teknik membuatnya begini. Pertama-tama, ikan bandeng, telor, dan bumbu di tempatkan dalam satu wadah. Lalu digiling hingga lembut dan dimasak dengan cara tertentu. Sayang, Anton tak bersedia menjelaskan teknik masaknya itu hingga adonan terbebas dari duri ikan.

Setelah matang, olahan ini diletakkan kembali di atas kerangka bandeng yang tinggal kepala dan ekor. "Jadi tetap mempertahankan bentuk asli ikan, tapi kalau dipotong tak ada durinya," kata pria kelahiran Brebes ini. Sosis bandeng Izzan ini bisa dikonsumsi langsung atau dipanaskan lebih dulu.

Untuk menghasilkan sosis yang berkualitas baik, Anton sengaja hanya memilih bandeng hitam. Alasannya bandeng hitam tak bercampur lumpur sehingga dagingnya tidak bau lumpur. Bandeng ini ia beli di daerah Bekasi, Cikarang, Karawang, dan Rengasdengklok. "Saya selalu pilih yang segar dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 16.000 per kilogram," katanya.

Kata Anton, apa yang dia sebut sosis bandeng ini sebenarnya sudah dikenal di tiga daerah, yakni di Cirebon, Banten, dan Semarang. Namanya saja yang beda. "Kalau di Cirebon disebut bandeng gepuk, di Banten disebut sate bandeng, sedangkan di Semarang disebut otak-otak," paparnya.

Di mata Anton makanan ini punya nilai bisnis tinggi, hanya saja belum populer. Jika peredarannya bisa diperluas, usaha sosis bandeng ini bisa menghasilkan keuntungan berlimpah.

Anton sudah menebar produknya ke seantero Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Makassar. Semua dia pasarkan dengan bantuan delapan agen penjualan.

Selain itu, Anton juga memasok ke pasar modern seperti Hero, Giant, Farmers Market Kelapa Gading, dan Mal Pondok Indah I. "Termasuk dijual di beberapa restoran Sunda di Jabodetabek," katanya.

Dibantu empat karyawan, dalam sebulan Anton mampu membuat 1.400 kardus sosis bandeng. Satu kardus berisi satu bandeng seberat 185 gram. "Harga di pasaran Rp 15.000 sampai Rp 17.000 per kardus," ujarnya.

Anton memetik omzet Rp 13 juta sampai Rp 15 juta perbulan. Jumlah ini sudah turun sejak Februari lalu."Dulu bisa antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta," katanya.

Untuk semakin mengembangkan usaha,kedepan Anton sudah berniat untuk melebarkan sayap dengan memasuki pasar Bandung. Alasannya, Bandung memiliki potensi pasar yang besar. "Kota in kerap jadi sasaran wisata bagi masyarakat Jakarta di akhir pekan maupun masyarakat lain," kata pria yang masih melajang ini.



Praktisnya Tiwul Instan            
Senin, 22 Februari 2010 15:42
Bagi Darmantyo, lelaki asal Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY, tiwul sangat lekat dalam kehidupannya. Sejak kecil, ia beserta seluruh keluarganya selalu mengonsumsi tiwul untuk makanan sehari-hari. Bila musim paceklik, gogik (terbuat dari sisa tiwul yang dikeringkan) juga menjadi menu sehari-hari. "Nasi bukan menu utama kami," ujarnya baru-baru ini.

Makan tiwul diyakini Darmantyo menyebabkan awet kenyang. Dan menurut pengamatannya, kalangan generasi tua yang pekerja keras di Gunungkidul tak akan puas bila tak makan tiwul. Selain belum merasa kenyang, energinya juga tak terpenuhi. ”Kalau nggak makan tiwul tak betah. Ini persoalan energi. Jadi tiwul itu membuat kita awet kenyang,” ungkapnya.

Sebagai santapan sehari-hari, Darmantyo tahu persis lauk apa yang paling cocok untuk menyantap tiwul, misalnya dengan ikan asin, sambel terasi atau sayur pedas yang terbuat dari santan, cabe dirajang serta dicampur tempe. ”Makan tiwul dengan lauk seperti itu merupakan kenikmatan tersendiri,” ujar Darmantyo yang kini tinggal di Yogya dan menjadi karyawan RRI Stasiun Yogya.

Bila hingga kini untuk memasak tiwul perlu dikukus yang mengeluarkan aroma khas sehingga membuat malu, dalam waktu dekat lagi cara itu bisa ditinggalkan, dengan diproduksinya tiwul instan.

Selain tak menimbulkan aroma khas, tiwul ini juga bisa disajikan dalam hitungan menit. Hal yang lain, di samping diperkaya gizinya, tiwul instan ini juga disajikan dalam aneka rasa seperti rasa ayam goreng, nasi goreng, ikan asin dan rasa kentang goreng. "Rasanya seperti mie instan," komentar Darmantyo, ketika merasakan tiwul instan rasa kentang goreng.

Menurut Darmantyo, bila tiwul instan disajikan seperti itu, tentu tak menjadi masalah. Apalagi bagi orang yang belum pernah merasakan makanan tiwul selama ini.
Namun bagi yang pernah makan tiwul, tentu ada perbedaan. Perbedaan itu, misalnya, secara fisik, bila tiwul yang asli butir-butirnya akan terasa kasar dan besar-besar sehingga ada kesan tersendiri ketika memakannya. Namun tiwul instan butir-butirnya terasa lembut.

"Tapi tak masalah. Kalau tiwul instan ini menjadi seperti ini ini kan pasti menumbuhkan kebanggaan yang lebih besar lagi. Secara psikologis, orang tak lagi merasa rendah kalau makan tiwul. Tak usah go international, produk ini menasional saja, saya kira sudah dengan sendirinya menimbulkan kebanggaan,” tutur Darmantyo. (*/ dari berbagai sumber)


Sulap Kotoran Sapi Jadi Gerabah            
Senin, 01 Februari 2010 16:22
Syammahfuz Chazali, mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UGM berhasil menyulap kotoran sapi yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama "tlethong" ini sebagai bahan campuran pembuatan keramik yang jauh lebih baik dibanding dengan bahan campuran yang digunakan selama ini. "Ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi per tahun di Indonesia yang belum dimanfaatkan padahal jauh lebih baik sebagai campuran di banding pasir karena mengandung isolate 9,6 persen hingga mempunyai daya ikat yang jauh lebih kuat, dalam pembuatan keramik,"� kata Syammahfuz beberapa waktu lalu.

Atas prestasinya, pada 28 Oktober lalu, Syammahfuz mendapat juara I Lomba Bisnis Plan Pemuda Tingkat Nasional yang diselenggaakan Kementrian Pemuda dan Olahraga.

Syammahfuz menuturkan, ide pertama untuk melakukan penelitian terhadap kotoran sapi ini muncul pada sekitar September 2006 lalu. Entah kenapa, tiba-tiba dia berfikir tentang kotoran sapi untuk dijadikan bahan campuran bahan keramik. "Saat itu saya sedang merenung di kamar mandi ketika tiba-tiba saya berfikir apa bisa kotoran sapi bisa digunakan untuk membuat keramik," katanya.

Ide itu terus mengganggu pikiran mahasiswa kelahiran Medan 5 November 1984 ini. Berbagai informasi pun dia kumpulkan dari teman-temannya tentang kemungkinan pengolahan kotoran sapi ini. Pada Oktober 2006, atau satu bulan setelah penemuan ide, Syammahfuz dan empat temannya yang lain yakni Fatmawati, Agus Dwinugroho keduanya dari jurusan Soial Ekonomi Pertanian UGM, dan Wusana Bayu Pamungkas dan Irawan Nurcahyo dari Fakultas Peternakan membentuk tim yang dinamakan Faerumnesia yang berarti kotoran dari lambung sapi Indonesia.

Tim ini akhirnya ngebut membuat proposal penelitian yang diajukan dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2006. Namun kala itu proposalnya tidak lolos dengan alasan unik karena judulnya hanya "Kotoran Sapi."

Namun Syammahfuz ini tidak putus asa mengajukan proposalnya ke berbagai kejuaraan hingga pada April 2007 proposalnya disetujui untuk mendapat biaya penelitian Rp 3,5 juta dari DUE-Like BATCH IV UGM. Dan terakhir dia meraih juara I pada Lomba Bisnis Plan Pemuda Tingkat Nasional yang diselenggaakan Kementrian Pemuda dan Olahraga dengan judul Alternatif Pemanfaatan Kompos dari Industri Peternakan Sapi sebagai Bahan Campuran Aneka Kerajinan Gerabah.

Menurutnya, penggunakan kotoran sapi untuk campuran bahan keramik ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengolah kotoran sapi agar tidak berbau dan tidak menjadikan gatal. Syammahfuz dan teman-temanya juga melakukan uji coba dengan Purwanto, salah satu perajin gerabah di daerah Kasongan, Bantul, DIY untuk membuat keramik dengan campuran kotoran sapi. Hasilnya cukup mengejutkan, keramik dengan campuran kotoran ini jauh lebih ringan dan kuat. Saat dibakar 90 persen tidak pecah seperti menggunakan campuran biasa. Selain itu hasilnya juga jauh lebih cemerlang dibanding dengan bahan biasa.

"Biasanya perajin membuat keramik dengan campuran tanah hitam, tanah kuning dan pasir. Tetapi dengan kotoran sapi cukup dicampur dengan tanah kuning dengan perbandingan 1:1. Hasilnya lebih ringan hingga 2 kg jika dibanding dengan bahan yang biasa digunakan,"� katanya.

Beberapa tawaran pun akhirnya muncul. Salah satunya dari Brunai yang meminta bisa membeli kotoran sapi yang diolah ini sebanyak 60 ton per hari yang akan digunakan untuk bahan membuat semacam batu bata. Jumlah ini jelas sangat berat karena sampai saat ini Syammahfuz dan timnya baru bisa memproduksi 6 ton per hari saja.

"Selain itu Brunai juga menawari untuk mematenkan hasil penelian ini. Sebenarnya saya sudah mengajukan paten melalui UGM tetapi sampai saat ini tidak direspon. Kalau tidak dihargai di dalam negeri dipatenkan oleh negara lain ya apa boleh buat,"� katanya.

Potensi ekonomi dari kotoran sapi ini cukup tinggi. Karena berdasarkan data yang ada di Indonesia ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi kering pertahun yang kebanyakan hanya dibuang tanpa dimanfaatkan. Harga yang ditawarkan Syammahfuz dan timnya juga cukup murah yakni hanya Rp 1.000 perkilogram. Harga ini jauh lebih murah di banding jika menggunakan pasir.


Ampuhnya Pestisida Nabati ala Lasiyo            
Rabu, 27 Januari 2010 14:36
Di lahan pekarangan rumahnya, ia banyak mempraktikkan teori-teori dari berbagai pelatihan dan lokakarya. Kegagalan tak membuat dia patah semangat, tetapi justru membuatnya tergugah untuk melakukan berbagai penyempurnaan. Dua produknya yang populer adalah pestisida nabati dan mikroorganisme pengurai kompos.

Adalah Lasiyo Syaefudin, petani dari Dusun Ponggok, Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah banyak mengukir prestasi di bidang pertanian organik. Namanya dikenal di kalangan petani di Bantul karena kerap menjadi pembicara di acara-acara pertanian.

Menurut dia, selama bertahun-tahun petani terjebak dalam pola tanam yang serba instan, mulai dari pupuk hingga pestisida. Akibatnya, kesuburan tanah semakin rusak dan produktivitas pun sulit dinaikkan. ”Awalnya saya tidak tahu harus berbuat apa karena memang tidak memiliki informasi bagaimana cara bertani yang baik, tanpa bergantung pada produk-produk kimia,” kata pria berusia 58 tahun itu kepada Kompas.

Kesempatan mengikuti lokakarya pertanian di Jakarta tahun 2007 memberikan pelajaran bagi Lasiyo. Dalam lokakarya ini, dia dikenalkan dengan pestisida hayati. Sesampainya di rumah dia langsung mempraktikkannya. Pada proses awal ia masih sering gagal karena komposisi campuran atau oplosan yang dia buat tidak tepat.  ”Meski gagal, saya tidak menyerah. Saya terus melakukan uji coba hingga mendapatkan komposisi yang pas,” katanya.

Kini setidaknya ada 50 resep pestisida nabati yang dimiliki Lasiyo. Semuanya diperoleh bukan dari teori buku, melainkan uji coba langsung.

Beberapa jenis resep itu di antaranya adalah jus cabai yang bisa dimanfaatkan untuk mengusir hama wereng serta jus daun mimba dan pepaya untuk mengusir lalat buah. Untuk mengusir tikus, Lasiyo memakai ubi kayu yang direbus dengan air kelapa. Ubi itu diletakkan di rongga-rongga sarang tikus. Jika termakan, tikus akan mati.

Menurut dia, hampir semua jenis produk nabati bisa dipakai untuk membuat pestisida, seperti tembakau, lengkuas, dan kunir. Khusus untuk tembakau, sebaiknya digunakan pada komoditas pertanian yang tidak langsung dikonsumsi karena kandungan nikotinnya tak baik bagi kesehatan.

Untuk mengolah pestisida nabati, ia memperoleh bantuan mesin dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul. Dalam waktu dekat, pemerintah kembali akan memberikan bantuan mesin dengan kapasitas lebih besar. Ia berharap pestisida nabati bisa diproduksi secara massal, agar harga jualnya murah dan suplainya memadai.

Selain dipakai di lahannya sendiri, yang luasnya 4.000 meter persegi, Lasiyo juga menjual pestisida nabati itu kepada petani lain seharga Rp 1.000 per liter. Harga ideal sebenarnya sekitar Rp 10.000 per liter. Ia sengaja menjual murah karena ingin memopulerkannya lebih dulu. Dalam sebulan, ia bisa menjual 30 liter pestisida nabati.

”Belum banyak petani yang mau memakai pestisida nabati. Mereka lebih suka menggunakan pestisida kimia meski harganya mahal, untuk volume 10 cc (pestisida kimia), harganya berkisar Rp 20.000 hingga Rp 50.000. Keengganan petani umumnya karena efek yang ditimbulkan pestisida nabati tak secepat pestisida kimia. Karena sifatnya alami, proses membunuhnya sedikit lebih lama,” paparnya.

Lasiyo mengatakan, meski efeknya lebih lambat, pestisida nabati lebih aman karena hanya membunuh hama sasaran. Kalau petani memakai semprotan kimia, semua jenis hama mati dalam sekejap. Tak hanya itu, produk pertanian yang dihasilkan juga tak aman untuk dikonsumsi.

Tak mudah bagi pria tamatan SMP tersebut untuk memengaruhi para petani lain. Namun, berkat kegigihannya selama ini setidaknya sudah sekitar 40.000 petani dengan luas lahan 4.800 hektar yang menggunakan pestisida nabati. Para petani itu tersebar di Kecamatan Pleret, Sewon, Imogiri, Pundong, dan Bambanglipuro.  ”Sebagian besar (petani) sudah memproduksi pestisida sendiri setelah melihat hasil uji coba saya. Awalnya mereka sempat ragu, tetapi saya berusaha meyakinkan hingga mereka bisa percaya,” ujarnya.

Selain pestisida hayati, Lasiyo juga mengembangkan mikroorganisme pengurai kompos. Fungsinya untuk mempercepat pembuatan kompos. Pengurai kompos itu dibuat dari air kelapa yang dicampur air pususan (air bilasan beras), gula jawa, dan iso (usus) atau terasi sebagai perangsang mikroba. Campuran itu lalu direndam selama 2 minggu.

Menurut dia, kompos seharusnya menjadi pilihan petani untuk mengatasi lahan kritis karena asupan pupuk kimia yang terlalu banyak. Kesuburan tanah tersebut hanya bisa dikembalikan dengan pupuk organik.  ”Petani juga tidak perlu repot apabila pupuk pabrik langka,” tutur pria yang pernah menyabet penghargaan dari Menteri Pertanian itu.

Di pekarangan rumahnya, Lasiyo juga mengembangkan sayuran organik dalam polybag. Ia tak mau lahannya sia-sia begitu saja. Makanya, setiap ruang yang tersedia terisi banyak polybag tanaman sayuran, seperti cabai, tomat, dan terong.

Ketertarikan Lasiyo kepada dunia pertanian tak berhenti sampai di sini. Ia juga mengembangkan jamur tiram karena dinilainya memiliki prospek pasar lumayan bagus. Saat ini banyak jenis masakan yang diolah dari jamur tiram, seperti sate jamur dan tongseng jamur. Ia berniat mengembangkan bisnis jamur dalam skala lebih besar karena masyarakat mulai menyukainya untuk lauk sehari-hari.

Meski sudah menyabet berbagai penghargaan, semua itu tak membuat pria asli Bantul ini sombong. Ia tetap rendah hati. Keramahan Lasiyo membuat banyak kalangan merasa tak canggung mendatangi rumahnya. Bukan hanya dari instansi pemerintahan, melainkan juga mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada yang ingin menimba ilmu darinya.

Berbagai pengalaman lapangan selama ini membuat Lasiyo menjadi ”profesor” meski dia hanya lulusan SMP. Ia pun berhasil menyabet juara I Lomba Cerdas Tani yang diselenggarakan Yayasan Unilever Indonesia pada tahun lalu.


Trash Press, Solusi untuk Sampah            
Membuang sampah biasanya menjadi rutinitas sehari-hari. Meski setiap rumah memiliki tempat sampah, toh, benda ini akan terus menimbulkan masalah.Sampah seringkali menjadi problem memusingkan yang selalu ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukan cuma itu, sampah juga menimbulkan masalah bagi yang harus membuangnya. Sebab, telat beberapa menit saja, tukang sampah sudah tak terlihat lagi. Akibatnya, sampah-sampah itu akan teronggok begitu saja hingga keesokan harinya.
Bisa dibayangkan bagaimana baunya. Selain kotor, sampah juga dapat memicu munculnya penyakit yang dibawa oleh lalat-lalat yang beterbangan. Untuk itu, jangan malas membuang sampah. Sampah harus dibuang setiap hari, terutama untuk sampah basah.
Rasa malas untuk membuang sampah seringkali menghinggapi pada siapa saja. Termasuk Raden Mochammad Tofan. “Dalam seminggu, 3–4 kali saya diberi tugas membuang sampah setiap subuh oleh Ibu saya. Saya malas banget. Karena, saya sering pulang kemalaman. Biasanya, saya tidur lagi usai sholat subuh. Berangkat dari situ, saya berangan-angan seandainya bisa membuang sampah seminggu sekali, tentu tidur saya lebih nyaman. Cara satu-satunya untuk mewujudkan angan-angan itu yaitu dengan memaksimalkan tempat sampahnya,” tutur pria yang biasa disapa Tofa itu seperti dikutip Majalah Pengusaha.
Pada umumnya, Tofan melanjutkan, bila tempat sampah sudah penuh, maka ia akan menginjak-injak agar ada ruang kosong untuk sampah berikutnya. “Ide saya, bagaimana jika menekan tempat sampah itu bukan dengan kaki, karena terkesan jorok, melainkan dilakukan secara otomatis. Akhirnya, terciptalah desain alat penekan sampah yang sangat unik ini,” katanya.





Sehat dengan Bumbu Organik            
Kembali ke alam, bagi Eni Widarijani, bukan untuk gaya-gayaan atau mengikuti tren. Ia meyakini alam


memberikan kesehatan sekaligus obat penyembuh. Untuk itulah ia getol mengembangkan aneka makanan organik. Salah satu yang digelutinya adalah penyedap rasa organik.
Penyedap rasanya saat ini terdiri dari 12 rasa bumbu penyedap rasa (flava) yang ia kreasikan. Bumbu tersebut meliputi bumbu balado, barbeque, sawi langit, wortel, pegagan, pecut kuda, temu putih, katuk, kunyit madu, jahe merah, dan urang aring. Semua serba organik. Artinya bahan seperti bawang, ayam, atau wortel ditanam dengan pupuk organik dan hasilnya tanpa diimbuhi pengawet.
Eni menyebut, penyedap pengganti vetsin yang aneka rasa ini tak jarang membuat orang heran. Namun, begitu dijelaskan masing-masing rasa berfungsi untuk menjaga kesehatan sekaligus obat, banyak yang langsung tertarik. Misalnya, pecut kuda untuk obat amandel dan bronkitis. Urang aring untuk terapi hepatitis A dan B, atau katuk untuk mengatasi kebotakan.
Menurutnya, dengan bumbu masak ini, orang yang sakit tidak sadar kalau dia sedang diobati. Kreasi penyedap aneka rasa ini, diakui Eni, kerap muncul dengan cara tidak sengaja. Misalnya, ketika ia kesulitan menemukan bumbu barbeque di internet, tiba-tiba muncul seseorang yang menjelaskan detil membikin barbeque. Usaha yang ditekuninya selama tiga tahun ini tidak hanya memasok kebutuhan lokal, tapi juga merambah ke luar negeri. (*/ dari berbagai sumber)



Stevan Lie, Sukses dengan Toko Bahan Organik            
Kamis, 09 September 2010 11:54
Jiwa bisnis yang tertanam dalam diri Stevan Lie sebenarnya sudah lama. Namun gelora bisnis itu baru bisa terealisasikan setelah dia menjalani karir profesionalnya di beberapa perusahaan. Usai lulus dari Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti Jakarta, Stevan sempat bergabung dengan PT Mulia Keramik antara 1996 sampai 1997. Jabatan terakhirnya yakni, supervisor. Kemudian dia bergabung dengan salah satu supermarket yang cukup terkenal di ibu kota. Di tempat kerjanya yang baru, Stevan lebih bisa mengeksplor kemampuannya, mulai dari set-up ruangan, purchasing, operasional, sampai akhirnya dia menjabat sebagai store manager.

Kemudian oleh pelanggannya waktu bekerja di supermarket, Stevan juga diajak untuk bekerjasama dalam penyediaan bahan-bahan makanan organik.Pengalaman-pengalaman itulah yang selanjutnya menjadi bekalnya menjadi seorang pebisnis. Pada Mei 2009, Stevan memutuskan untuk mendirikan sendiri usaha dengan nama Stevan Meat Shop & Food Store.

”Ide untuk mendirikan bisnis ini sebenarnya sudah ada ketika usaha makanan organik kami sudah mulai ‘terganggu’. Saat itu, kami sepertinya menjadi korban regulasi. Impor terhadap bahan organik sangat ketat dilakukan, karenanya barang yang ada di toko itu sama sekali kosong,” ujarnya.

Saat itu, Stevan terbilang tidak begitu sulit untuk mempersiapkan pembukaan bisnis barunya. Sebab, semuanya mulai dari persiapan sampai pembukaan gerai, dilakukan hanya dalam jangka waktu dua bulan. Sebuah rentang waktu yang cukup cepat, dalam memulai sebuah bisnis baru. Belum lagi, staf Stevan yang dulu bekerja di supermarket langsung menyatakan diri ingin bergabung dengannya di bisnis baru tersebut.

Diakuinya, ini terjadi lantaran hubungan baik yang diterapkannya selama ini. ”Saya menjadikan karyawan dan customer sama. Keduanya adalah mitra yang harus dijaga dengan baik,” katanya. Tak ayal, begitu banyak pelanggan yang pindah dan beralih kepadanya, hanya karena ingin agar mereka dilayani seperti Stevan melayani mereka dahulu.

Stevan mengatakan, pelanggannya yang berasal dari kalangan middle-up tidak pernah mempermasalahkan soal harga, tapi mereka sangat sensitif mengenai servis. Karena itu, dia berusaha untuk menghadirkan servis yang maksimal agar para pelangganya merasa betah berbelanja ke tokonya. Saking baiknya, Stevan sampai mau menemani para pelanggan yang hanya datang untuk sekedar menanyakan resep masakan kepadanya.

”Mungkin tidak ada yang berbeda dengan usaha lain yang sama, namun kami mengandalkan servis yang maksimal. Kami berusaha menjadikan pelanggan seperti raja, agar mereka betah, kalau perlu datang tinggal main tunjuk saja, biar kami yang ambilkan,” tandasnya. (*/jpnn)


John Pieter, Dulu Pemulung Kini Punya Pabrik            
Selasa, 27 Juli 2010 09:51
John Pieter, pengusaha sukses yang mengawali bisnisnya sebagai pemulung sampah plastik Bagi John Pieter, hidup adalah perjuangan.

Kucuran keringat dan rasa malu menjadi pemulung tak dia hiraukan karena keyakinan untuk meraih sukses.

Menjadi mahasiswa jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), tak membuat John Pieter malu dan risih untuk memungut serta mengumpulkan sampah plastik yang banyak berserakan di belakang kosnya di kawasan Geger Kalong Tengah, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sampah-sampah plastik itulah yang menginspirasinya untuk membuka usaha pada 1987. Pada awal memulai usaha John berpikiran, jika dibandingkan harga gabah yang saat itu Rp600/kg, harga limbah plastik di tingkat pengepul sudah mencapai Rp1.000/ kg. Saat itu dia memantapkan diri untuk memulai bisnis daur ulang sampah plastik sambil tetap kuliah. Menurut John, seorang pengusaha sejati harus memiliki sifat visioner, memandang jauh ke depan, ditambah keyakinan diri pada usaha yang dilakukannya. “Melihat perbandingan harganya yang begitu besar, saat itu saya yakin bisnis ini akan menghasilkan potensi besar. Dan perlu diingat, untuk menjalankannya bisnis ini tidak memerlukan modal sama sekali. Hanya dengan catatan, buang jauh-jauh perasaan malu,” tandas John saat ditemui di ruang kerjanya di Cipamokolan, Kota Bandung, belum lama ini.
Dibarengi kerja keras dan tak kenal lelah, usahanya makin maju. Hingga suatu hari ada surat kabar nasional memberitakan sosok John sebagai pengusaha sukses yang berangkat dari pemulung sampah plastik. Hal ini berlanjut dengan adanya tawaran kucuran modal dari Mandiri Business Banking. Sejak saat itu John resmi menjadi nasabah Mandiri Business Banking.

“Modal yang saya terima benar-benar saya gunakan untuk menjalankan roda bisnis. Saat menerima kucuran modal itu, saya sudah memiliki mesin pengolah sampah dan sarana pendukungnya hingga tempat usaha. Jadi, saya berani menerima ajakan untuk bermitra dari Mandiri Business Banking sehingga kredit modal itu bisa digunakan secara optimal,” papar John. Dengan bantuan modal dari Mandiri Business Banking, usaha John yang menggunakan nama Peka Group semakin berkibar. Biji plastik hasil olahannya menjadi primadona pengusaha yang banyak bergerak di bidang home industry.

“Mereka membeli produk saya untuk berbagai keperluan seperti bahan baku pembuatan tali plastik, tali rafia, helm, alat-alat rumah tangga, dan lainnya,” tutur ayah dari Yediza dan Ishak ini.

Keyakinan John menggeluti bisnis pengolahan sampah plastik semakin kuat karena keinginannya untuk menjadi orang kaya. “Saya berpikiran, jika jadi pekerja, meskipun lulusan dari kampus ternama, tidak berarti memberikan jaminan bisa menjadi orang kaya. Di pikiran saya hanyalah bagaimana caranya menjadi orang kaya melalui jalan yang benar,” ungkapnya.

John merasakan betul bagaimana aktivitasnya mengumpulkan satu per satu sampah plastik di halaman kosnya untuk dijual kepada pengepul. John mengungkapkan, kedua orangtuanya yang tinggal di Sumatera tidak mengetahui jika anaknya menjadi pemulung selepas kuliah. “Tetapi, saat bertandang ke Bandung, orangtua saya pun akhirnya tahu jika selama ini saya menjadi pemulung. Saat melihat apa yang saya lakukan, mereka menangis karena sedikit pun tidak pernah terlintas dalam pikiran kedua orangtua saya jika anaknya harus memunguti sampah,” tutur lelaki asal Tanah Karo, Sumatera Utara, itu.

Namun, hal itu tak menyurutkan langkah John untuk menekuni usaha yang telah dia rintis. Usahanya sedikit demi sedikit terus mengalami kemajuan dan dia memberanikan diri meminjam modal pada temannya sebesar Rp4 juta. Dengan modal tersebut, akhirnya John menjadi seorang pengepul dan memindahkan tempat usahanya ke kawasan Cikutra, Kota Bandung. Di Cikutra John menyiapkan tempat khusus yang bisa ditinggali pemulung. Namun, dia sering meninggalkan tempat usahanya karena harus kuliah dan kadang mengajar. Untuk itu, dia pun memercayakan kepada seseorang. “Tanpa sepengetahuan saya, ternyata pemulung yang kerap tidur dan makan bersama itu menohok dari belakang. Sampah plastik yang sudah saya bayar kembali diambil. Modal saya pun habis,” kenangnya.

Kegagalan itu diakui John sebagai pengalaman paling berharga. Sebab, sejak kejadian itu, dia memutuskan untuk fokus menekuni bisnisnya. Aktivitas mengajar pun akhirnya dia lepaskan dan tempat usaha tersebut hanya ditinggalkan saat John kuliah. John pun memantapkan diri menjadi pengusaha limbah plastik. Bisnis jual beli limbah plastiknya terus berkembang hingga bisa mempekerjakan tiga orang karyawan. Sadar usahanya terus berkembang pesat, setelah menyelesaikan kuliah John benar-benar tak ingin mencari pekerjaan sesuai ilmu yang dia peroleh di ITB.

Suami Ninik Maryani ini tetap berkeyakinan, usaha limbah plastik bisa mengantarkannya menjadi orang kaya. Selama ini John selalu berusaha menghasilkan produk yang berkualitas. Diawali dengan pemilahan, sampah plastik mengalami beberapa kali proses pembersihan untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Setelah itu, sampah plastik itu dipotong-potong kecil hingga akhirnya kembali dipisahkan berdasarkan titik lelehan melalui proses pemanasan. Ditanya nilai omzetnya kini, John tidak bersedia mengungkapkan. Begitu pula dengan total aset yang dia miliki. “Lumayan lah, yang pasti usaha ini hingga kini terus berkembang,” kata John singkat.

Kini, setelah lebih dari 20 tahun menjalankan usaha limbah plastik, John menyerahkan kepada orang-orang kepercayaannya untuk mengelola. John juga telah membuka cabang usaha biji plastik di Makassar, Medan, dan Banjarmasin. Selain itu, dia juga mendirikan pabrik pengolahan biji plastik di kawasan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. “Hasil produksi di beberapa daerah tersebut semua dikirim ke Bantar Gebang,” katanya.

Banyaknya cabang itu sampai membuat John tak tahu persis berapa jumlah seluruh karyawannya. Tidak ketinggalan, John melibatkan sang istri yang juga teman satu almamaternya ikut berperan dalam memajukan usaha limbah plastik.

Bahkan, sejak tiga tahun lalu Ninik mengelola sebuah koperasi mikro yang bisa memberikan pinjaman modal usaha bagi para pemulung dan warga biasa dengan bunga sangat rendah. Selain itu, John dan istrinya memberikan pelatihan kewirausahaan kepada pemulung dan warga sekitarnya. (*SI/Agung Bakti Sarasa)


Sukses dengan Outlet Berjalan            
Rabu, 26 Mei 2010 13:52
Industri Clothing & Distro adalah salah satu contoh tersukses dari pengembangan industri kreatif di Indonesia. Sekitar 10 tahun yang lalu, hanya terdapat 5-7 clothing labels di Bandung. Dalam perjalanannya, hingga kini usaha clothing & distro di 94 kota DI seluruh Indonesia mencapai lebih dari 1.000 pelaku.

Untuk bisa eksis dalam usaha distro di tengah retail fashion company besar, selain harus mempunyai desain yang kreatif juga memiliki strategi marketing untuk memasarkannya. Tb Fiki Chikara Satari menggagas toko dan outlet berjalan dengan nama Airbus One (Fashion Mobile Store) tahun 2006 lalu. Bus ini dirancang khusus untuk memajang aneka produk airplane, untuk melakukan jemput bola pembeli di beberapa SMA di bandung. Kalau jam sekolah usai, Airbus One mangkal di Jl Sultan Agung, Bandung. Hasilnya ampuh, Fiki mengaku, Airbus One menjadi senjata penetrasi pasar bagi usahanya dan membentuk image yang kuat di pasar.

Sejatinya, usaha Fiki dimulai Februari 1998 membuka distro Airplane. Tidak perlu modal besar untuk bisnis distro. Saat membuka distro Airplane di bawah bendera CV Arrasy Stylisindo Aesthetic, cuma ada modal sekitar Rp 300.000. Mengenai omzet? Fiki menatakan, "Ya lumayanlah, kini bisa membayar 54 pegawai kita tiap bulan. Nyaris 10 digit lah," ucap Finalis International Young Creative Entrepreneur of the Year Award for Fashion, The British Council ini.

Bandung merupakan surga bagi usaha distro. Pasalnya, seperti dicetuskan Fiki, infrastruktur untuk produksi mudah didapatkan. Bahan sisa ekspor relatif mudah, banyak tukang sablon dengan minimum order kecil, tukang jahit banyak, dan desainer juga mudah didapat karena banyak perguruan tinggi yang mempunyai Fakultas Seni Desaign Graphic.

Distro Airplane yang dibesut Fiki kini berbiak menjadi tiga gerai di Bandung. Airplane juga memasok produk ke 94 distro di Indonesia. Strategi Airpalne terbilang tidak biasa. Fiki menyebut penerapan konsep season untuk desain produknya. Setiap season mengusung tema yang berbeda sebagai senjata untuk membedakan Airplane dengan distro lainnya. Setahun dibagi menjadi tiga season, yakni awal tahun, lebaran/liburan sekolah, akhir tahun. Tema desain produk disesuaikan dengan tren mode yang ada. Jenis produknya beragam, ada t-shirt, jaket, kemeja, celana, aksesori, rompi, topi dan sepatu dengan harga mulai Rp 50-300 ribu per piece yang ditujukan untuk segmen anak muda usia 17-25 tahun. Tiap bulan diluncurkan 60 desain baru. Supaya eksklusivitas terjaga, tiap desain hanya diproduksi 200 pieces untuk disebar ke gerai milik sendiri atai dijual ke seluruh jaringan di sekitar 60 kota di Tanah air.

Selain itu, disetiap sesion ada program on air dan off air, seperti mensponsori sejumlah band indie lokal. Untuk season kedua tahun ini, Airplane mengusung tema Intermission. Untuk program off air, Airplane membuat eksebisi fotografi dengan karya dari 17 fotografer Nasional dan Internasional yang berelaborasi dengan graphic designer Airplane yang membuat medium t-shirt.  Terobosan lain, membangun jaringan pemasaran lewat website yang mampu mengundang animo pembeli dari Finlandia, Filipina, Australia, dan Belanda.

Dua tahun belakangan, Fiki bercerita usahanya menemui kendala. Para pembajak di usaha distro sudah begitu merajalela, ditambah dengan masalah business ethic dari para pengusaha garmen besar yang beramai-ramai masuk ke bisnis ini karena melihat ada potensial market.

Namun, Fiki telah menyiapkan sejumlah amunisi untuk menghadapinya. Caranya dengan meningkatkan akselerasi update design tiap bulan, memperbanyak detail aksesori produk, serta memperbanyak kegiatan off-air campaign untuk terus memperkuat image orisinalitas. "Dan lebih banyak berdoa saja," tuturnya sambil tertawa.

Meski bisa mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ke pemerintah untuk menghadapi pembajakan, namun pria kelahiran 3 Februari 1976 ini enggan melakukannya. Menurutnya, hingga kini pemerintah belum memberikan kemudahan bagi usaha untuk mengurus hak paten, register, dan sebagainya. Belum lagi biaya pengurusan serta operasionalnya yang terbilang besar dan bisa membuat usaha bangkrut. Ke depan, ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) Indonesia ini ingin mengembangan usahanya tak hanya di bidang clothing dan distro, namun juga di sektor properti dan perumahan.
Kompas

Dari Kaki Lima Jadi Bos            
Jumat, 30 April 2010 09:29
Berawal dari usaha kaki lima bermodal hanya Rp5 juta-Rp10 juta, kini omzet bisnis sepatu dan sandal Rezam Alim mencapai Rp400juta per bulan, memiliki lima toko, masing-masing tiga toko di ITC Cempaka Mas, satu toko di Pondok Indah Square, dan satu toko di Cirebon, Jawa Barat.

Dia memulai usahanya sebagai pedagang kaki lima yang menjual sepatu dan sandal di alun-alun Bandung pada 1998. Sayang usahanya terkena gusur, sehingga akhirnya pria yang sempat menganggur selama beberapa bulan itu memutuskan pindah ke Jakarta untuk mengadu nasib.

ITC Cempaka Mas yang kala itu baru saja dibuka, menjadi tempat pertama yang dibidik Rezam untuk membuka usahanya. Karena kekurangan modal, dia merangkul dua kawannya untuk bekerja sama.

Kala itu mereka bertiga harus membayar sewa tempat sebesar Rp7 juta per bulan untuk membuka toko yang kemudian diberi nama Fortuna dengan harapan bisa memberikan keberuntungan.

"Saya dan kawan-kawan harus negosiasi beberapa kali sampai akhirnya bisa mendapat sewa bulanan di tempat ini yang biasanya mematok sewa tahunan," ujar Rezam.

Prinsip mereka saat itu berusaha menjalankan usaha dan jika ternyata dalam tempo satu atau dua bulan ke depan tidak berjalan mulus, mereka akan langsung 'tutup buku'.

Seiring perjalanan waktu, kenaikan harga sewa yang makin tinggi membuat toko sepatu Fortuna hampir bangkrut. Akhirnya, dia dan kawan-kawannya memutuskan untuk memulai usaha masing-masing, sementara Fortuna tetap dijalankan Rezam.

Berbekal kerja sama dengan para grosir dan industri rumah tangga yang selama ini telah memberikan kepercayaan padanya, dia mengaku nekad menjalankan bisnis sendirian saat itu. "Saat itu modal saya pas-pasan, bahkan untuk bayar uang sewa pun kurang," katanya.

Dengan keuletan dan kerja keras serta minimnya pesaing saat itu, usaha yang dijalaninya pun mulai membuahkan hasil.

Dari hanya satu toko, kini sudah lima toko yang dimiliki Rezam. Bahkan, toko sepatu Fortuna saat ini adalah salah satu yang terbesar yang ada di ITC Cempaka Mas. Dia juga sudah mempatenkan nama Fortuna yang diubah menjadi New Fortuna sejak 2004.

Untuk menjalankan usahanya itu, dia bekerja sama dengan grosir di wilayah Bogor dengan pembelian setiap 15 hari sekali. Rezam mengaku meraih untung 30% dari penjualan.

Sistem ini, menurut dia, lebih menguntungkan, karena selain bisa cepat balik modal, dia pun bisa mengembalikan barang yang sudah tidak laku. "Kalau tidak dikembalikan, biasanya kami obral secara rutin setiap tiga bulan sekali," ujarnya.

Selain memakai sistem jual barang, dia juga menerima sistem jual putus kepada para pengecer kecil di beberapa wilayah seperti Bandung dan Lampung yang selama ini menjadi pelanggannya. Secara rutin, mereka membeli sejumlah barang dalam partai kecil yang kemudian dijual kembali. Mereka memperoleh harga yang lebih miring 15% dari harga grosir.

Permintaan barang senilai Rp1juta pun akan dipenuhi Rezam yang biasanya mengirimkan pesanan tersebut lewat paket kiriman kilat. Dari hasil usaha kerasnya itu, kini dia sudah bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan bahkan sudah bisa membeli beberapa aset seperti rumah dan mobil.

Pengelolaan usaha yang dijalankan Rezam terhitung sederhana. Bahkan saat awal-awal menjalankan usaha semuanya dijalankan secara tradisional, menggunakan catatan manual.

Namun, seiring perjalanan waktu dan perkembangan usaha, dia mulai menyewa tenaga yang lebih profesional dalam mengurus usahanya itu. Kini, sekitar 30 pegawai telah direkrutnya. Sistem pengelolaan ala keluarga pun tetap dipertahankan dengan bantuan keluarga terdekat.

Selain itu, meskipun sudah cukup sukses, dia mengaku tetap ingin membidik pasar dari kalangan wanita kelas menengah bawah yang selama ini menjadi target utamanya. "Karena perempuan lebih sering memerhatikan mode, dan juga pasar saya di segmen ini sudah terbentuk," katanya.

Dia mengakui persaingan makin berat tahun ini. Omzet pun menurun 20% dari biasanya Rp600juta per bulan menjadi Rp400juta per bulan. Hal ini karena makin banyaknya mal yang bertebaran di Jakarta, dan makin menurunnya daya beli masyarakat.

Karena itu, untuk tetap bertahan dia akan terus mempertahankan kualitas dan kepercayaan dulu pelanggan, serta tidak melakukan ekspansi agar lebih fokus pada bisnis yang telah berjalan saat ini. (Bisnis Indonesia)

Bambang Haryono, Sukses dengan Modal Rp 10 Ribu            
Jumat, 05 Februari 2010 09:21
Cita-cita Bambang Haryono sebenarnya sederhana saja, ingin meningkatkan taraf hidup keluarganya yang tergolong sangat sederhana. Dia tak pernah menyangka kalau cita-citanya yang sederhana itu justru menghantarnya menjadi pengusaha sukses. Maklumlah ketika itu Bambang yang masih sekolah lanjutan atas memulainya dengan berjualan manisan buah seperti mangga, kedondong, ke sekolah atau ke warung-warung kecil yang ada sekitar rumahnya.

“Jualan manisan, mana mungkin bermimpi jadi pengusaha besar. Modalnya dari mana? Untuk jualan manisan modal saya hanya Rp 10.000. Saya ini dari keluarga susah, untuk mendapatkan sesuatu, saya harus berjuang sekuat tenaga. Saya jualan untuk bayar uang sekolah, sekaligus untuk bantu mama yang harus menghidupi kami lima bersaudara. Papa sudah meninggal,” tutur Bambang mengenang.

Dari manisan, usaha Bambang berkembang ke bisnis minuman kesehatan, di antaranya sari temulawak. Seperti manisan, jualan minuman itupun dimulai dari warung ke warung. Menurut Bambang, cara itu lebih efektif karena sirkulasinya lebih cepat. “Saya tidak menitipkan ke toko-toko, karena butuh waktu 1 minggu. Kalau ke sekolah atau warung, memasukkan pagi, sore sudah bisa diambil hasilnya. Jadi sirkulasi uang lebih cepat,” ungkap Bambang.

Keuletan dan kegigihannya  membuat usaha kecil-kecilan itu berkembang pesat. Bahkan dari hasil usaha itu, Bambang bukan hanya bias membantu perekonomian keluarganya, tapi juga membiayai pendidikannya di bangku universitas. “Dari sana juga saya mendapatkan dana untuk melanjutkan pendidikan hingga kuliah,” ujar anak keempat dari lima bersaudara ini.

Selama 18 tahun berbisnis hingga akhirnya sebesar sekarang, berbagai ‘gonjang-ganjing’ telah dia alami. Jatuh-bangun, telah dilalui. Kuncinya, kata Bambang, jangan cepat putus asa. Jangan lelah berjuang. “Disiplin dan penuh inovasi, baik inovasi produk maupun inovasi dalam marketing. Itulah yang saya lakukan selama ini."

Beberapa waktu lalu, ia menjadi salah satu pengusaha yang mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, atas prestasi produk makanannya yang menjadi juara pertama makanan produk pertanian olahan unggulan Nusantara.

“Produk makanan yang juara adalah bakiak, makanan khas Bayuwangi,” tambah Bambang yang memberi nama usahanya Pelangi pada tahun 1987. Ketika bisnisnya makin berkembang ke aneka produk, maka ia memproklamirkan nama Pelangi Sari. Di dalam Pelangi Sari itu pula ada bidang usaha kerajinan yang diberi nama Oesing Craft.



LihatTutupKomentar